50 TAHUN IMAMAT P.SUBHAGA (12)


Kesan & Kenangan Keluarga



Bagaimana kesan dan kenangan keluarga  terhadap sosok Pater Servatius Subhaga,SVD? Tim Penulis Buku  ini meminta kesan dan kenangan  dari keluarga dekat Pater Servatius  Subhaga,SVD  di Batulumbung dan Tuka.


Ibu Theresia Ni  Wayan Warsi





Theresia Ni Wayan Warti adalah satu-satunya adik kandung Pater Servatius Subhaga,SVD  yang lahir pada tahun 1945 dan masih hidup sampai sekarang. Tiga bulan setelah Ni Wayan Warti  lahir bapak I  Wayan Gulis meninggal dunia. Sat itu Pater Servas berusia  delapan tahun. Maka mereka pun menjadi  anak yatim.

Yang  Theresia ingat adalah ketika Pater Servas  pamit pada ibunya untuk pergi ke Mataloko Flores. Ibunya satu hari tak bicara. Tetapi kemudian  ia mengijinkan pater Servas pergi ke Mataloko. Waktu itu usia Theresia enam tahun. Sebagai seorang adik, Theresia  sering merindukan kakaknya. Setelah sepuluh bulan Pater Servas kembali ke Bali ia merasa sangat senang.



Pada tahun 1956 usia Theresia  11 tahun, Pater Servas kembali pamit pada ibunya untuk melanjutkan sekolah di Seminari Mertoyudan. Tahun 1957 ia menyelesaikan SRK Tuka  lalu melanjutkan pendidikan di SKKP di Palasari. Selama empat tahun ibu Ni Made Rente tinggal sendiri. Setelah selesaikan SKKP ia tidak melanjutkan  sekolah karena kasihan ibunya tingal sendiri.



Pada tahun 1961 Pater Servas kembali pamit pada ibu untuk ke Flores melanjutkan sekolah demi mencapai cita-citanya menjadi  pastor. Waktu itu Theresia berusia 22 tahun. Ia menikah dengan Bernadus I Wayan  Sudri. Pater Servas  kalau liburan  pasti menyelesaikan  waktu liburannya  di rumah bersama ibu . Itu mulai ia sekolah di Seminari Tangeb, di Mertoyudan  dan di Ledalero.



Pada saat Pater Servas ditahbiskan menjadi imam pada 9 Juli 1969 Theresia  merasakan kebahagiaan yang luas biasa sama seperti ibunya. Tahbisan itu menjadi peristiwa langka saat itu  sehingga menarik perhatian umat Hindu. Ia menuturkan, “Saya melihat ibu sangat bahagia dan saat  Pater Servas sungkem, ibu menumpangkan tangan di kepala dan menitikkan  air mata. Saya ikut terharu dan meneteskan air mata”.

Di usia imamat 50 tahun ini, sebagai adiknya  saya  bahagia dan bersyukur karena kakak bisa  setia pada panggilannya. Lebih bahagia karena  usia yang panjang  dan usia imamat yang panjang telah diberikan oleh Tuhan. Kami berdoa untuk kebahagiaan kakak Servas  yang setia dalam imamatnya.





Pasutri Paulus Kt.Dongker &

Ni Made Theresia





Ibu Ni Made Theresia  adalah anak dari  ibu Ni Made Rapiyem adik kandung dari ibu Ni Made Rente  yang lahir tahun 1949. Ia adalah istri dari bapak Drs. Paulus I Ketut Dongker. Ia menuturkan pada saat tahbisan Pater Servas di Babakan 9 Juli 1969  ia berusia 20 tahun dan belum menikah. Ia ingat betul diberi kepercayaan menyerahkan kado dari Paroki Tuka.”Saya tidak tahu  kado apa, tapi saya yang menyerahkan kepada Pater Servas”.

Menurutnya Pater Servas didoakan oleh ibunya Ni Made Rapiyem  supaya  menjadi imam. Setiap malam ibu  berdoa Rosario  dengan ujud agar Tuhan memilih Pater Servas menjadi imam. Doa terkabul  dengan ditahbiuskannya Pater Servas pada 9 Juli  1969. Namun ibu Ni Made Rapiyem  meninggal beberapa tahun sebelum  Pater Servas ditahbiskan. Ia punya kesan, Pater Servas itu setia dalam panggilan, penuh perhatian kepada umat dan keluarga. Ia tegas  dan pegang teguh pada keyakinan benar itu benar dan salah itu salah.





Bapak Agustinus I Wayan Suwarjaya



Agustinus I Wayan Suwarjaya adalah putra sulung dari ibu Theresia Ni Wayan Warti, adik kandung dari Pater Servatius Subhaga, SVD. Ia menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Sejak  tahun 1976  ia tinggal menemani  ibu Ni Made Rente  di Batu Lumbung  sedangkan orang tuanya  tinggal di Tuka. Tahun 1991  saat ibu Ni Made Rente  meninggal  Pater Servas memintanya tetap tinggal di rumah neneknya itu.

Menurutnya Pater Servas itu  tegas dan sangat memegang teguh prinsip hidupnya. Sampai saat ini  kami  memandang  Pater Servas  sebagai “bapa”. Jadi kami  sering bertemu  untuk minta nasihat, wejangan dan minta berkat.  Waktu 25 tahun imamat  dirayakan dengan  misa syukur di rumah orang tuanya di Batulumbung. Sederhana  namun mengesankan. “Kami pernah Tanya, Pater  bagaimana dengan perayaan 50 tahun imamat  nanti. Pater jawab, keluarga tidak usah repot, umat paroki sudah memikirkannya. Kami bersyukur Romo 50 tahun, pesta emas imamatnya. Apa lagi Pater  masih melayani umat sampai di usianya yang  sudah 81 tahun.”





Ibu Katharina Ni Nyoman Triwahyuni

 Katharina Ni Nyoman Triwahyuni atau  biasa disapa Koming  adalah anak ketiga dari ibu Theresia Ni Nyoman Warsi, adik kandung dari Pater Servas. Ketika Pater Servas  ditahbiskan menjadi imam  di Gereja Roh Kudus Babakan ia baru berusia  sembilan tahun. Tetapi ia ingat betul bahwa suasana tahbisan saat itu  sangat sakral dan terasa istimewa. Ia juga diberi kepercayaan oleh Paroki Tri Tunggal Tuka untuk menyerahkan kado kepada Pater Servas.”Saya tidak tahu kado apa tapi saya yang diberikan kesempatan untuk menyerahkan kepada Pater”, ujarnya.



Koming mengaku  cukup dekat dengan Pater Servas  bahkan sampai saat ini. Ada beberapa kebutuhan  Pater Servas yang  setiap minggu harus ia bawa ke Kepundung  saat Pater Servas masih tinggal di  Kepundung  dan  ke Ubung saat  sudah tinggal di Gereja YGYB Ubung. Misalnya kopi jahe  itu sampai saat ini  masih menjadi kesukaan Pater Servas. Di mata Koming pamannya itu  sangat kebapakan. Ia sayang  pada anak-anak dan pada keluarga. “Pater Servas  yang adalah paman kami  adalah ayah yang membimbing kami anak-anak agar hidup sesuai dengan iman”, ujarnya. 





Kesan Para Sahabat





Bapa Uskup Emeritus Kherubim Pareira, SVD




Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira,  SVD lahir di Lela, Sikka, Nusa Tenggara Timur, 26 September 1941 dari pasangan bapak Aloysius Yulius Pareira dan ibu  Elisabeth da Iku Pareira. Ia adalah anak kelima dari 12 bersaudara. Ia adalah Uskup Maumere yang menjabat dari 19 Januari 2008 sampai 14 Juli 2018. Sebelumnya, Mgr. Kherubim Pareira, SVD  merupakan Uskup Weetebula sejak 21 Desember 1985 dengan motto episkopat “Ut Omnes Sint” (Yoh 17:21), supaya mereka semua menjadi satu.



Pada 14 Juli 2018 Mgr. Kherubim mengakhiri tugasnya sebagai Uskup Maumere dengan penunjukkan tahta suci kepada penerusnya Mgr. Ewandus Martinus Sedu,Pr  yang ditahbiskan pada 26 September 2018  dimana Mgr. Kherubim menjadi uskup pentahbis utama. Mgr. Kherubim  adalah teman satu angkatan di Novisiat SVD Ledalero dan teman satu angkatan belajar Filsafat di STFK Ledalero.



Sabtu 8 September 2018 pukul 09.00 wita saya berkesempatan emas bertemu dengan Bapa Uskup Emeritus Maumere Mgr. Cherubim Pareira, SVD. Pertemuan tanpa membuat janji terlebih dahulu. Ketika sampai di istana keuskupan saya bertemu dengan bapa uskup Maumere terpilih Mgr. Ewaldus Martinus Sedu, Pr. Beliau lalu menyampaikan kepada Bapa Uskup Kherubim bahwa ada saudara saya dari Denpasar ingin bertemu dengan Bapa Uskup. Karena Bertepatan dengan kunjungan Wakil Gubernur NTT Joseph Nae So’i ke Keuskupan maka saya harus menunggu sampai acara selesai.



Tepat jam 11.20 wita Bapa Uskup Emeritus Kherubim Pareira berkenan menerima saya untuk sebuah wawancara. Ketika saya mengucapkan salam selamat siang Bapa Uskup Kherubim langsung menyambung “Dari Bajawa ko? Aksennya khas Bajawa”. Saya jawab, betul yang mulia. Bapa Uskup pun bertanya, jauh-jauh dari Bali, cari saya, ada yang bisa saya bantu? Saya menjelaskan bahwa salah seorang imam SVD yang berkarya di Bali pada  9 Juli 2019 akan merayakan 50 tahun imamatnya. Dia putra Bali pertama yang ditahbiskan menjadi imam.



Bapa Uskup pun bertanya siapa namanya. Saya sebutkan nama Pater Servatius Subhaga, SVD. Begitu mendengar saya menyebut nama Pater Servatius Uskup Kherubim langsung menyambung, ya, dia teman angkatan novisiat SVD di Ledalero tahun 1961-1963. Nama lengkapnya Servatius I Nyoman Ronsong. Kami sama-sama masuk novisiat tahun 1961. Ada 23 orang dan lima orang di antaranya dari Bali. Selain Servas, demikian nama yang biasa kami panggil sehari-hari, ada empat orang lainnya dari Bali. Saya masih ingat nama mereka yakni Paulus Tirtha, Alex Widjana, Jan Tantra dan Fidelis Pandu. Coba tanya kepada Pater Servas, pasti dia masih ingat. Tapi seingat saya dari mereka berlima hanya dua orang sampai ditahbiskan jadi imam yakni Servatius I Nyoman Ronsong dan Fidelis Panda. Fidelis hanya setahun novisiat SVD lalu pindah tahun rohani di Ritapiret. Alex dan Jan memilih mengundurkan diri.



Bapa Uskup Kherubim juga masih ingat hoby Pater Servas saat masih frater di Ledalero. Kata Bapa Uskup, Servas itu berjiwa seni. Ketika novisiat baru dibangun Servas dan teman-teman dari Bali yang menata taman. Pater Servas saat masih frater sangat rajin. Dia bicara sedikit banyak kerja. Taman yang ia tata pasti indah dipandang mata. Servas juga pribadi yang mudah bergaul dengan siapa saja. Kegemarannya pada olahraga sepak bola dan bola voli membuatnya banyak teman. Saya dan Servas satu tim sepak bola novisiat, maupun satu angkatan selama studi filsafat. Pater Servas sangat piawai bermain bola kaki dan voli. Mungkin itu yang membuatnya sehat. Saya jarang dengar dia sakit. Kalau saya tidak salah usianya sekarang mendekat 80 tahun. Ketika saya infokan bahwa Pater Servas baru saja merayakan 80 tahun usia dan sampai sekarang masih berkarya sebagai pastor pembantu di Paroki St. Yoseph Denpasar Bapa Uskup Kherubim katakan, salut dengan semangat Pater Servas.



Bapa Uskup Kherubim mengisahkan. Saat novisiat 1961-1963, pater magister novisiat adalah P. Richard Neuwendyk,SVD. Selama tiga tahun di Novisiat Pater Servas tak mengalami hambatan akibat perbedaan latar belakang suku dan budaya. Pergaulan biasa saja. Memang ada satu dua hal dimana teman-teman dari Bali merasa asing. Terutama soal makanan. Di masa awal teman-teman dari Bali bisa makan apa saja yang disajikan dari dapur. Tetapi soal menu bunga pepaya Pater Servas dan teman-teman dari Bali tidak sentuh memang. Kami heran mengapa mereka tidak makan. Setelah kami tanya terus mereka baru mengaku orang Bali takut makan bunga pepaya karena berhubungan dengan kepercayaan adanya kekuatan negatif bernama Leak. Tapi setelah masuk tahun kedua dan seterusnya mereka makan.



Lebih lanjut Bapa Uskup Kherubin kisahkan, tahun 1963 mulai belajar filsafat. Kami ada banyak yang masuk kuliah filsafat karena gabung dengan frater-frater praja dari Ritapiret. Antara lain dengan Fr. Marselus Myarsa. Seingat saya Pater Servas bersama kami yang lain belajar filsafat tahun 1963 sampai 1965. Setelah itu kami berpisah. Saya pergi Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Kisol  sedangkan Servas tidak pergi TOP. Dia melanjutkan terus belajar teologi tahun 1966 sampai 1968. Kalau tidak salah frater SVD angkatan kami yang tidak TOP itu tiga orang yakni Fr. Servas, fr. Simon Sempau dan Fr. Bosco Beding. Fr. Servas dan fr. Simon dipandang sudah matang dan dewasa sedangkan fr. Bosco Beding karena kecakapannya dibutuhkan. Bapa Uskup Kherubim kisahkan bahwa ketika ia kembali dari TOP fr. Servas sudah menyelesaikan studi teologi dan dipersiapkan untuk tahbisan diakon. Saya ingat mereka ditahbiskan diakon di Seminari Ledalero.



Memang ada beberapa hal yang membuat teman-teman frater dari Bali mengalami hal yang tidak enak dan nyaris mengganggu panggilan mereka. Ketika novisiat tak ada masalah. Di bawah bimbingan magister Pater Richard kami aman saja. Tapi ketika belajar filsafat atau dikenal sebagai frater skolastika, para frater dari Bali mendapat tekanan psikologis dari Magister. Pasalnya Magister lama dinilai terlalu memanjakan para frater dari Bali. Ketika berganti Magister terjadi tekanan secara psikologis. Tapi semua itu cepat berlalu. Pater Servas itu memang berniat sungguh-sungguh menjadi imam SVD. Ia bisa melewati semua gangguan dan halangan. Jadi pantas kalau Pater Servas merayakan syukur Emas 50 imamatnya.

Kesan Bapa Uskup Kherubim terhadap  Pater Servas: Pater servas itu selalu bertutur kata halus, tidak pernah keras atau berkata kasar dan tidak pernah marah. Ia sangat tekun berdoa. Ia penuh tanggung jawab melaksanakan tugas yang diberikan terutama mengurus taman. Ia elastis dalam pergaulan dengan frater-frater yang lain.

Akhirnya sebelum berpisah saya minta Bapa Uskup Cherubim foto bersama. “Biar panitia percaya bahwa saya benar bertemu dan berbincang dengan Bapa Uskup.” Ia tersenyum sambil menjabat tanganku. Ia titip pesan: Salam untuk Pater Servas dan teman-teman yang saya pernah kenal. Terima kasih Bapa Uskup. Epan Gawang.***



Pater Paulus Boli Lamak, SVD



Pater Paulus Boli Lamak,SVD  lahir di Desa Bakan Kecamatan Atadei Kabupaten Flores Timur 4 Juli 1935. Ia ditahbiskan menjadi imam  pada 17 April 1966. Ia menjalankan karya imamatnya di Bali pada tahun1966 sampai 1976  termasuk berkarya di Paroki Santo Yoseph Denpasar, berkarya di Surabaya pada tahun 1976 sampai 1981, berkarya  di Jakarta menjadi Pastor Paroki Matraman Jakarta pada 1981 sampai 1988. Kemudian kembali ke Seminari San Dominggo Hokeng pada tahun 1988 sampai sekarang.



Siang itu, Minggu 9 September 2018 saya bertemu dengan Pater Paulus Boli Lamak, SVD di Seminari San Dominggo Hokeng Larantuka. Kami duduk di teras tepat di depan kamar tidurnya. Yang ia tanya pertama kepada saya adalah: Bapak dari mana? Saya jawab, saya dari Denpasar. Tapi saya lahir di Bajawa. Lalu ia pun menanyakan, kira-kira ada keperluan apa bertemu dengan saya?



Sayapun menyampaikan maksud, bertemu Pater untuk minta komentar berkaitan dengan salah seorang konfrater SVD yang akan merayakan 50 Tahun imamat pada 9 Juli 2019. Saya sampaikan , SVD akan merayakan 50 tahun imamatnya. Pater Paulus spontan menanggapi, yah betul. Pater Servas imam pertama Keuskupan Denpasar, imam pertama asli orang Bali.



Lalu mengalirlah kenangannya bersama Pater Servas baik di Ledalero maupun selama ia bertugas di Bali.Di Seminari Ledalero, saya menjalani novisiat dari tahun 1958 sampai 1960. Sedangkan Pater Servas datang untuk Novisiat tahun 1961. Jadi saya kurang dekat dengannya selama di Ledalero. Mungkin kami angkatan berbeda. Novisiat tinggal sendiri sedangkan frater skolastikat tinggal sendiri. Saya kaul kekal pada 15 Agustus 1965, saat itu Pater Servas masih di tahun ketiga skolastikat. Jadi otomatis kami tidak terlalu saling kenal. Setelah kaul kekal saya ditahbiskan diakon tahun 1965 dan setelah itu saya pergi praktek diakonat lalu ditahbiskan menjadi imam pada 17 April 1966 di Larantuka. Jadi semasa di Ledalero saya tidak terlalu dekat dengan Pater Servas.



Setelah ditahbiskan menjadi imam saya dibenum sebagai misionaris domestik region Jawa tahun 1966 di Bali Lombok. Tugas pertama saya adalah Pastor Paroki di Paroki Tuka sejak 16 Agustus 1966 sampai 26 April 1970. Waktu itu Paroki Tuka dimekarkan menjadi dua Paroki yakni Tuka dan Babakan. Pater Nobert Shadeg, SVD menjadi pastor paroki Babakan.



Pater Paulus Boli mengaku baru mengenal dekat dengan Pater Servas saat ia ditahbiskan menjadi imam pada 9 Juli 1969 di Paroki Babakan. Tahbisan Pater Servas itu yang pertama dilakukan di Bali. Uskup penahbis adalah Mgr. DR. Paulus Sani Kleden, SVD. Saya termasuk imam yang mendampingi Uskup Paulus saat misa tahbisan. Kesan saya, misa tahbisan Pater Servas sangat meriah dan menarik perhatian masyarakat Bali yang Hindu. Waktu itu Pater Servas masih muda sekali. Saya juga imam muda Balita, bawah lima tahun. Saya ingat betul Uskup Paulus dalam kotbahnya berharap agar setelah tahbisan Pater Servas ini, akan ada tahbisan imam lainnya putra asli Bali.



Tahun 1970 saya pindah ke Paroki Palasari sejak 26 April 1970. Pater Paulus melanjutkan, tahun 1971 saya dipindahkan ke Paroki St. Yoseph Denpasar. Jadi saya hanya satu tahun sebagai pastor paroki di Palasari. Waktu itu wilayah paroki St. Yoseph mencakup Denpasar, Kuta Nusa Dua, Gianyar, Karangasem, Kungkung dan Monangmaning. Jadi belum ada paroki Katedral, Kuta, Nusadua, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Monangmaning. Pelayanan di Kuta Nusa Dua dilaksanakan di Gereja Ekumene Kuta (depan patung kuda). Tapi karena saya masih tergolong imam muda jadi terasa biasa saja. Selama saya pastor paroki St. Yoseph, saya tidak pernah bertemu dengan Pater Servas. Hal ini karena beliau studi kateketik di Yogyakarta dari 1973 sampai 1976. Tahun 1976, tepatnya 24 Mei 1976 saya menyerahkan jabatan pastor paroki St. Yoseph kepada Pater Servatius Subhaga, SVD.



Tentang pribadi Pater Servas, Pastor Paulus punya kesan, Pater Servas itu tidak mau menyusahkan orang lain. Ia sangat mandiri. Dia lebih suka mengerjakan sendiri apa tugas dan tanggung jawabnya. Pater Servas itu, sama seperti kebanyakan orang Bali, berjiwa seni dan taat pada budaya Bali. Rasa estetikanya itu ia tuangkan dalam bentuk bangunan dengan ornamen Bali yang syarat makna. Setiap saya berobat ke Surabaya, saya mesti singgah di Denpasar dan berusaha bertemu dengan pater Servas. Ia pasti mengajak saya melihat-lihat ornamen bangunan Gereja Yesus Gembala Yang Baik di Ubung. Dia akan sangat penuh semangat menjelaskan arti dari ornamen yang ia bangun itu.



Suatu ketika saya bersama Pater Servas makan bersama di sebuah restoran. Saya katakan padanya, pater Servas harus bukukan karya seni pada bangunan Gereja Ubung itu supaya bisa diwariskan. Umat kita di Santo Yoseph itu umumnya diaspora yang kurang paham budaya Bali. Saya katakan, banyak orang Bali juga yang tidak mengerti. Dengan dibukukan maka ada pewarisan. Ketika saya katakan bahwa Varia Foto Ornamen Gereja Kepundung dan Gereja Ubung sedang digarap untuk dibukukan Pater Paulus tampak sangat senang.



Ketika saya tanya pada pater Paulus, mungkin ada pesan untuk Pater Servas, ia mengatakan: Saya pesan hal ini pada Pater Servas, kalau ada pekerjaan berat, saatnya serahkan pada yang lebih muda. Usia kita ada batasnya. Dan ada saatnya pula untuk istirahat, membaca atau menulis. Menikmati masa senja. Salam hormatku untuk Pater Servas dan umat Paroki Santo Yoseph. Semoga mereka masih mengenang dan mengingat saya.***


Romo Bosco Terwinyu, Pr



Ketika mencari data sejarah Gereja Bali di Sekretariat Keuskupan Agung Ende di Ndona, saya dibantu oleh Romo Bosco Terwinyu, Pr. Dia iman praja Keuskupan Agung Ende yang paling senior dari segi umur. Ketika saya sebut nama Pater Servas, Romo Bosco langsung mengatakan kenal dengan Pater Servas. “Saya kenal, semasa frater namanya Servatius I Nyoman Rongsong”, ujarnya.



Romo Bosco mengisahkan, dirinya frater praja, tinggal di Seminari St. Petrus Ritapiret. Sedangkan Servas frater SVD tinggal di Seminari St. Paulus Ledalero. Meski demikian sebagai mahasiswa sering bertemu. Di masa studi filsafat dan teologi, frater Servas itu mudah bergaul, ramah dalam bergaul. Dia akrab dengan siapa saja, termasuk dengan kakak tingkat.



Romo Bosco mengaku kakak tingkat dua tahun di atas Pater Servas. Dulu frater-frater baik SVD maupun Praja, jumlahnya masih sedikit. Jadi masih mudah menghafal nama-nama teman. Romo Bosco mengenal Pater Servas di saat masih frater sebagai salah satu frater yang rasa kesenimanannya sangat kental. Ia juga senang olahraga sepak bola. Dulu, waktu masih frater tubuhnya sangat atletis. Dia senang berolahraga. Romo Bosco mengaku mengenal dekat Pater Servas saat masih frater dan kuliah bersama di Ledalero.



Romo Bosco Terwinyu Pr mengaku merayakan 50 tahun imamatnya pada 1 Mei 2016 lalu. Berarti ditahbiskan menjadi imam pada Mei 1966.”Saya tiga tahun di atas Pater Servas. Waktu saya ditahbiskan tahun 1966 Pater Servas sedang belajar teologi. Di masa kami kuliah dulu semua nama mata kuliah dalam bahasa latin. Demikian tutur Romo Bosco.***





Romo Dominikus Balo, Pr



Catatan Penulis: Saat wawancara ini dibuat Romo Dominikus Balo,Pr masih hidup. Ia meninggal dunia pada Selasa 5 Pebruari 2019 di RSU Bajawa Kabupaten Ngada NTT.



Romo Dominikus Balo, Pr adalah mantan Preses Seminari St. Petrus Ritapiret periode 1987-1990. Saat ini ia mengajar bahasa latin di Seminari Menengah Yohanes Berchmans Todabelu Mataloko. Dia alumni Seminari Mataloko 1954 -1961. Tahun 1962 menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Seminari Tinggi St. Petrus seangkatan dengan Romo Marcellus Myarsa,Pr. Tahun 1963-1965 kuliah filsafat kemudian menjalankan Tahun Orientasi Pastoral selama dua tahun. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 26 Juli 1970. Pada 26 Juli 2020 nanti ia akan merayakan 50 tahun imamat.



Kebersamaan dengan Pater Servas adalah saat masih sama-sama sebagai frater yang belajar filsafat 1963-1965. Sebagai teman satu angkatan kami memang saling mengenal satu sama lain. Apa lagi jumlah frater yang belajar filsafat di satu angkatan tidak banyak. “ Saya mengenal frater Servas sebagai orang Bali yang suka keindahan. Dia sangat suka menanam dan merawat bunga mawar. Di tangan dia bunga mawar yang masih kecil sudah berbunga”, kisahnya.



Selama dua tahun kuliah bersama kami terlibat dalam kelompok diskusi atau tugas lainnya yang diberikan para dosen. Di situlah kami saling mengenal. Bahkan belajar watak orang Bali. Saya yakin Pater Servas juga pasti belajar watak kami orang Flores. Hobi Pater Servas saat masih frater adalah main voli. Tapi hampir semua olahraga dilakoni. Saya tahu itu karena sering ada pertandingan antar angkatan filosofin. Dia bertubuh atletis.

Ada satu pengalaman yang saya masih ingat. Biasanya pada pagi hari para frater Ritapiret rebutan kopi. Kadang-kadang ada yang tidak dapat. Biasanya minum kopi tetapi kalau tidak minum kepala pusing. Jadi waktu istirahat kami minum kopi di kamarnya teman-teman frater dari Ledalero, termasuk di kamar Frater Servas I Nyoman Rongsong.



Seingat saya Frater Servas tidak menjalani tahun-tahun Orientasi Pastoral. Terbukti ketika kami kembali dari TOP tahun 1967 Frater Servas sudah di tingkat terakhir belajar teologi. Saya kurang tahu mengapa tidak TOP. Itu juga yang membuat tahun tahbisan kami menjadi tidak sama.Dia tahbisan Juli 1969 dab aaya Juli 1970.



Sebagai teman satu angkatan saat belajar filsafat, saya gembira Pater Servas setia dalam imamatnya. Kesetiaan dalam imamat yang dialami Pater Servas, juga diri saya sendiri adalah berkah yang luar bisa dari Tuhan kepada kami. Tak ada ungkapan lain selain dengan penuh syukur menyampaikan selamat berbahagia kepada Pater Servas yang bisa mencapai usia 50 tahun imamat. Profisiat Pater Servas.***



Pater HJ Suhardiyanto,SJ

Pater HJ Suhardiyanto,SJ kini mengabdi di Lembaga Pengembangan Kateketik PUSKAT Yogyakarta. Pater Hardiyanto  mengaku dirinya kenal dengan Pater Servas Subhaga, SVD. Ia menuturkan, waktu itu tahun 1973 lembaga pendidikan kateketik ini masih bernama Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya. Sekarang adalah Fakultas Pendidikan Agama Universitas Sanata Dharma. Ia katakan sejak 1973 lembaga pendidikan ini mengalami perubahan demi perubahan.Pater Servas masuk sebagai mahasiswa doktoral di STKat Pradnyawidya tahun 1973.



Berikut ini penuturannya. Saya tahu pater Servas kuliah di sini setelah menjadi imam. Saya adik kelas tetapi saya sangat mengenal Pater Servas. Selain bertemu di kampus, pater Servas juga sering misa di Kentungan. Jadi saya sering ketemu juga di Kentungan. Saya waktu itu frater SJ yang ditugaskan belajar kateketik. Jadi saya kuliah sebelum ditahbiskan menjadi imam. Saya baru selesai kuliah setelah menjadi iman, setahun sesudahnya. Saya kenal Pater Servas sebagai kakak kelas. Dia orangnya ramah dengan semua orang. Dia belajar selama tiga tahun dan selesai tahun 1976.Waktu kuliah di STKat, namanya adalah Pater Servasius Subhaga, SVD. Jadi kami tidak mengenal nama Servasius I Nyoman Rongsong. Hanya pernah dengar dari seorang mahasiswa asal Bali tentang nama aslinya itu.***



Romo Hubertus Hady Setiawan,Pr


Romo Hubertus Hady Setiawan,Pr lahir di Cimacan, 1 Juli 1954 dan ditahbiskan menjadi imam pada 15 Agustus 1986. Saat ini Romo Hady adalah salah seorang Pembina di Seminari Roh Kudus Tuka. Ia pernah bertugas sebagai Kepala Paroki St. Fransiskus Xaverius Kuta.Selain tugas tersebut Romo Hady juga dipercayakan sebagai Ekonom Keuskupan Denpasar dan di Yayasan Insan Mandiri.



Di masa kegembalaan Mgr. Vitalis Djebarus,SVD Romo Hady adalah Vikjen Keuskupan Denpasar. Ketika Uskup Denpasar Mgr. Vitalis Djebarus,SVD meninggal tahun 1998, Romo Hubertus Hady Setiawan ditunjuk sebagai administrator Keuskupan Denpasar sampai 5 Agustus 2000. Di masa kegembalaan Uskup Benyamin Yosef Bria,Pr, Romo Hady adalah Vikjen Keuskupan Denpasar.



Romo Hady mengenal dekat Pater Servas sejak 1986. Berikut ini penuturannya. Saya mengenal Pater Servas  sejak 1986 saat saya baru ditahbiskan menjadi imam Keuskupan Denpasar. Tetapi  saya sering bertemu dengannya  sejak tahun 1982. Kesan saya pada Pater Servas, dia seorang pekerja. Ia punya semangat melayani umat yang sangat tinggi. Di masa ia sebagai Pastor Paroki Santo Yoseph tahun 1976 wilayah pelayanannya mencakup Kota Denpasar  sampai wilayah Bali Timur.



Sebagai imam muda ia rajin mengunjungi umat di  Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kuta, Gianyar, Klungkung dan Karangasem. Berdirinya paroki-paroki seperti Monang Maning, Kuta, Katedral, Gianyar, Klungkung dan Karangasem  juga karena  Pater Servas  yang bekerja menyemaikan iman umat. Pater Servas punya jasa besar terhadap pertumbuhan Gereja Lokal Bali khususnya di Bali Timur.



Saya mengenal Pater Servas  sebagai sosok yang  sangat berpegang teguh pada sikap hidup dan pandangan hidupnya. Ia memegang teguh komitmen. Kemauannya sangat kuat sehingga apa yang diinginkan harus diwujudkan. Ia adalah seorang pelayan yang tak pernah mengeluh. Maka pantaslah di hari bahagia 50 tahun imamat kita  turut bersyukur bersamanya. Selamat Pesta Emas 50 Tahun imamat.***



Romo Marcel Gede Myarsa,Pr

Romo Marcel Gede Myarsa lahir di Palasari pada 18 Maret 1942 sebagai anak sulung dari 11 bersaudara pasangan Bapak Mateus Nyoman Pegeg dan Ibu Yosefina Nyoman Lange. Romo Marcell menyelesaikan pendidikan di SDK Palasari lalu melanjutkan pendidikan di SMP Seminari Tuka dan SMA Seminari Mertoyudan Magelang.Setelah itu menjalani Tahun Orientasi Rohani di Seminari Tinggi Ritapiret lalu studi filsafat di Ledalero dan Teologi di Yogyakarta. Pada 20 Juli 1971 ia menerima urapan imamat. Ia pernah menerima berbagai tugas penggembalaan  maupun tugas lainnya yang dipercayakan  Uskup  kepadanya. Tugas yang pernah diembannya  adalah sebagai Deken Bali Barat  dan Pastor Paroki Negara. Karena usia, Romo Marsel  dibebastugaskan dari  jabatan  Deken dan Pastor Paroki. Kini Romo Marsel berkarya di Seminari  Roh Kudus Tuka  sebagai staf pembina para seminaris.



Berikut ini penuturannya tentang sosok Pater Drs. Srvatius Subhaga,SVD. Saya mengenal Pater Servas  sejak Seminari Roh Kudus. Waktu itu ia kakak tingkat  di kelas II dan saya masuk tahun pertama  1954.  Setelah itu saat melanjutkan ke SMA Seminari Mertoyudan  Pater Servas  juga kakak kelas. Saat  di Ledalero kami  jarang  bertemu karena Pater Servas waktu itu  tinggal di Ledalero  sedangkan saya tinggal di Ritapiret. Tetapi yang membuat kami  bisa bertemu adalah lapangan bola kaki di Wairpelit. Kami  sering  bertanding antara kesebelasan Ledalero dan Ritapiret. Saya salah satu pemain dari Seminari  Ritapiret dan Pater Servas itu pemain dari  Seminari Ledalero. Dia sangat piawai bermain bola kaki.



Pater Servas itu sangat prinsipil, berpegang teguh pada  komitmen. Yang dia yakini benar akan dipertahankannya. Semangat  melayani  sangat tinggi. Saat  menjabat  sebagai Pastor Paroki St. Yoseph tahun 1976, wilayah Paroki Santo Yoseph terbentang  di  Bali Timur mulai dari Monang Maning, Kuta, Nusa Dua, Gianyar, Klungkung, Bangli dan Karangasem. Pater Servas benar-benar  melayani umat yang tinggal secara sporadis itu. Dia kuat, lincah, gesit  dan memiliki postur tubuh yang atletis.



Saat sama-sama  kuliah di Filsafat Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero Pater Servas itu  sangat tekun mengikutinya. Ia  juga pintar  dan seingat saya, dia  suka membaca. Minat suka membaca ini membuat Pater Servas  memiliki pengetahuan yang cukup luas. Setelah  belajar Kateketik di Jogyakarta, Pater Servas  sangat paham tentang katekese. Saya sebagai imam Keuskupan Denpasar  salut dengan semangat pater Servas. Saya ikut bangga  dan terharu  karena imam pertama Keuskupan Denpasar  bisa mencapai imamat emas 50 tahun. Profisiat Pater Servas.***



Kesan Para Awam



Bapak Alexiux I Wayan Sentur Widjana



Alexiux I Wayan Sentur Widjana lahir  di Batulumbung 6 Agustus 1939 dari pasangan  bapak  I Tjekik dan ibu Ni Kari.Meskipun lebih adik namun  Pater Servas di masa kecil adalah teman bermain.  Pada saat  ia sekolah  Kelas I di SR Untal-Untal, Pater Servas  duduk di kelas III. Saat dirinya naik kelas II dan Pater Servas naik ke kelas IV mereka pindah ke SRK Tuka.



Menurut Alexius, setelah menyelesaikan pendidikan di SRK Tuka tahun 1952  Pater Servas berangkat ke Mataloko. Ia  sendiri baru menyelesaikan SRK tahun 1953. Karena Pater Servas  dipulangkan dari Mataloko dan masuk Seminari Roh Kudus Tangeb  maka mereka pun  menjadi satu kelas sampai menyelesaikan  seminari itu tahun 1956. Dirinya bersama Pater Servas, Johanes Wayan Tantra dan Fidelis I Made Pondal dikirim oleh Pater Nobert Shadeg,SVD ke Seminari Mertoyudan pada tahun 1956. Di Seminari mereka belajar  selama  kurun waktu 1956 sampai 1960.

Setelah menyelesaikan Seminari Mertoyudan  Alexius, Pater Servas, Johanes Wayan Tantra, Paulus I  Made Tirta dan Fidelis I Made Pondal  meneruskan  ke Novisiat SVD  di Ledalero  Maumere pada 1961  sampai 1963. Fidelis hanya setahun di SVD lalu pindah ke Seminari Ritapiret. Dirinya melanjutkan ke studi filsafat tahun 1963  sampai 1965. Setelah itu tahun 1965-1967 menjalankan Tahun Orientasi Pastoral di Biara Bruder St. Konrandus Ende Flores.



Diungkapkan Alexius, waktu kembali dari praktek pastoral  Pater Servas  sudah belajar teologi karena ia  tidak menjalani tahun orientasi pastoral.  Seingatnya, Yohanes I Wayan Tantra  Tarik diri  di Tangeb dalam  tahun teologi III tahun 1969. Paulus I Made Tirta  keluar sesudah satu tahun unatempo sebelum perpetua rows tahun 1969. Sedangkan Alexius mengundurkan diri sebelum perpetual di Ledalero tahun 1970  lalu melanjutkan kuliah di Yogyakarta.



Menurutnya Pater Servas itu sejak  di Seminari Roh Kudus Tangeb, Seminari Mertoyudan dan  di Seminari Tinggi Ledalero  adalah pribadi yang tekun dan serius. Ia juga pribadi yang sangat berpegang teguh pada prinsip hidupnya, memiliki kemauan yang kuat dalam menggapai suatu tujuan. Sebagai temannya  saya ikut merasakan perjalanan pendidikan di seminari sejak SMP di Tangeb sampai di Ledalero berlanjut dengan  ia ditahbiskan sebagai imam pertama orang Bali. Ikut merasakan suka dan duka  selama pendidikan berlangsung.



Diungkapkan Alex, dirinya sangat bangga karena Pater Servas dapat  menunjukkan kesetiaan kepada imamatnya. Itu bukti dari  prinsip hidupnya  yang kuat. Bahwa saat ini ia bisa merayakan  50 tahun imamat, itu berkat baginya dari Tuhan. Pater Servas sudah membuktikan  betapa ia  setia pada Tuhannya, setia pada panggilannya, setia pada pengabdian, pelayanan dan setia pada umatnya. Selamat pesta emas imamat Pater Servas.***



Bapak Raden Yuventinus Soeharman



Bapak Raden Yuventinus Soeharman adalah  tokoh awam yang sudah bergabung di Paroki Santo Yoseph Denpasar sejak tahun 1962. Mengikuti perayaan ekaristi pertama kali di Gereja Santo Yoseph Kepundung pada misa pagi Natal 25 Desember 1962. Tanggal 8 Desember 1968  bersama beberapa  umat membentuk komunitas  Sektor Santa Bernadette  yang tetap kokoh berdiri sampai saat ini.



Ia mengenal Pater Servas  sejak  Mei 1976  saat ada pergantian Pastor Paroki dari Pater Paulus Boli Lamak kepada Pater Servasius yang baru pulang dari Yogyakarta. Ia imam muda yang gesit dengan tubuh yang tegap atletis. Saat bertemu pertama dengan Pater Servas kesannya  adalah orangnya ramah  namun kokoh dalam memegang prinsip. Pater Servas  orangnya sangat terbuka, mengatakan apa adanya  jika ia  tidak suka terhadap sesuatu dan ia juga akan mendengar  bila ada masukan dari umat yang masuk akal.



Pater Servas adalah perintis  sejumlah paroki  khususnya di Bali Timur. Waktu tahun 1962  saya datang ke Bali  hanya ada Paroki Santo Yoseph di Kota Denpasar. Di Badung  ada paroki Tuka, Tangeb, Babakan dan Kolibul. Pater Servas “merasul” di seluruh kota Denpasar sampai Kuta, Nusa Dua dan Tanjung Benoa, Gianyar, Klungkung dan Karangasem. Berkat keuletan Pater Servas  maka lahirlah paroki-paroki Monang Maning, Katedral, Paroki Kuta, Paroki Gianyar, Stasi Klungkung dan Amlapura.



Sejak  1976  sampai  sekarang  saya  sungguh mengikuti perjalanan imamat Pater Servas  yang  terus melayani umat. Bersama Dewan Paroki ia beberapa kali berinisiatif merenovasi Gereja Kepundung. Ia juga menjadi pelopor  pembangunan Gereja Yesus Gembala Yang Baik Ubung  dan kini sedang menyelesaikan pembangunan Griya Bhakti Pastoral. Dalam pandangan saya, Pater Servas itu  seorang pembangun iman umat sekaligus membangun fasilitas untuk mendukung  hidup iman umat. Dari lubuk hati yang tulus saya ucapkan terima kasih  atas pengabdian Pater Servas. Selamat merayakan 50 Tahun Imamat.



Yohanes I Wayan Tantra



Yohanes I Wayan Tantra lahir di Tuka  10 September  1938  dari pasangan  bapak I Raneng dan ibu Ni Rinti. Saat ini ia berdomisili di Kota Amlapura Kabupaten Karangasem dan tercatat sebagai tokoh umat  di Stasi St. Fransiskus Amlapura.

            Ia sekelas  dengan Pater Servas saat belajar di SMP Seminari Roh Kudus  sebagai angkatan pertama di Tangeb tahun 1953  sampai 1956. Selanjutnya satu angkatan  pula dengan Pater Servas  saat belajar di Seminari Petrus Canisius Mertoyudan Magelang Jawa Tengah  tahun 1956 sampai 1961.

            Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas di Mertoyudan Yohanes I Wayan Tantra bersama-sama  Servasius I Nyoman Rongsong, Paulus I Made Tirta, Alexiux I Sentur Widjana dan Fidelis I Made Pondal Nirdjaja diterima di Novisiat SVD Ledalero tahun 1961 sampai 1963. Ia belajar Filsafat di Ledalero tahun 1963 sampai 1965 dan selama dua tahun menjalankan tahun orientasi pastoral. Tahun 1967 sampai 1969 belajar teologi  namun memasuki tahun  ketiga  teologi  ia mengundurkan diri.

            Berikut ini pria yang akrab disapa John Tantra ini menuturkan pengalaman kebersamaannya dengan Pater Servas Subhaga, SVD. Waktu duduk di kelas I SMP Seminari di Tangeb saya sekelas dengan Pater Servas yang dipulangkan dari Seminari Mataloko Flores. Demikian juga waktu belajar di Seminari Mertoyudan Magelang Jawa Tengah  kami harus mulai lagi dari Kelas III lalu menyelesaikan pendidikan pada kelas VII.

            Setelah dipastikan diterima di Novisiat SVD Ledalero Flores kami berlima pun berangkat ke Flores melalui Surabaya. Seingat saya kami menumpang Kapal Ratu Rosari. Kami berlima itu adalah saya sendiri, Servasius I Nyoman Rongsong, Paulus I Made Tirta, Alexiux I Sentur Widjana dan Fidelis I Made Pondal Nirdjaja. Kami mengikuti tahun novisiat SVD selama tiga tahun dari 1962 sampai 1963 lalu belajar filsafat tahun 1963 sampai 1965. Fidelis keluar dari SVD pada tahun kedua dan pindah ke Ritapiret. Jadi yang bertahan di SVD sampai belajar teologi kami berempat saja.

Pater Servas tidak menjalankan Tahun Orientasi Pastoral sehingga ketika saya kembali ke Ledalero pada tahun 1967 ia sudah  belajar teologi di tahun kedua. Selama di Ledalero  kami tiga kali berlibur. Biasanya  selalu bersama-sama  menumpang kapal dan perjalanan laut memakan waktu satu minggu.

Selama pergaulan saya dengan Pater Servas  sejak di Seminari Tuka, Seminari Mertoyudan dan Ledalero, kesan saya pada sosok Pater Servas adalah dia  orangnya serius, punya komitmen dan berkemauan kuat. Ia juga sangat memegang prinsip sehingga kalau ia merasa  prinsipnya benar maka  ia akan mempertahankannya.

            Di masa  ia sebagai imam muda dan menjadi Pastor Paroki Santo Yoseph, Pater Servas sangat sering melakukan kunjungan ke stasi-stasi khususnya  di Gianyar, Klungkung, Bangli dan Karangasem. Di Amlapura, saya mengalami kunjungan Pater Servas sejak 1978 saat saya  bekerja di Foster Parent  dan menetap di Amlapura. Waktu itu belum ada gereja dan pastoran. Kebetulan istri saya adalah bidan di Puskesmas Perasi dan mendapat fasilitas tempat tinggal. Jadi setiap berkunjung ke Amlapura  Pater Servas merayakan misa di Puskesmas Perasi. Saat itu umat katolik  sekitar 10 orang.

            Saya turut bergembira karena Pater Servas bisa merayakan 50 tahun imamatnya. Peristiwa ini merupakan bukti betapa Pater Servas setia  pada jalan panggilan imamatnya. Saya turut bangga karena Pater Servas  adalah orang Bali pertama yang ditahbiskan sebagai imam. Kesetiaannya pada panggilan imamatnya itu  adalah bukti kuat bahwa Pater Servas itu sangat memegang teguh komitmen dan pilihan hidupnya. Pater Servas, sebagai teman saya  ucapkan selamat berbahagia merayakan imamat emas 50 tahun. Saya pun ikut bersyukur.***





Bonefasius Boli Hada



Bapak Bonefasius Boli Hada lahir di Adonara Flores Timur  17 Oktober 1941  dan menyelesaikan pendidikan di SGA Podor Larantuka tahun 1961. Sempat mengajar di SDK Swastiastu 1 Denpasar  beberapa bulan tahun 1961 lalu Januari 1962  mengikuti pendidikan katekis tentara di Semarang. Setelah bertugas  di Pusroh Katolik  TNI Angkatan Darat di Jakarta  dan penugasan di beberapa tempat tahun 1966 mulai bertugas di Pusroh Katolik  Kodam XVI/Udayana yang sekarang menjadi Kodam IX/Udayana.





Dalam rangka Pesta Emas Imamat Pater Servas Subhaga,SVD, berikut ini penuturan bapak Bone Boli Hada. Pada tahun 1966 itu Pastor Paroki Santo Yoseph adalah Pater Heijne,SVD. Sedangkan pastor tentara adalah Letkol Tituler Dr. Herman Embuiru SVD dan wakilnya  Lettu Hendrik Laban. Wilayah Paroki Santo Yoseph mencakup Kuta sampai Nusa Dua dan Tanjung Benoa, Monang Maning, Gianyar, Klungkung, Bangli dan Karangasem. Saya aktif di Paroki Santo Yoseph  sejak dituaskan sebagai tentara di Pusroh Katolik Udayana. Setelah Pater Heijni, SVD pindah ke Surabaya beliau diganti oleh Pater Paulus Boli Lamat  sampai tahun 1976.



Yang saya ingat dari sosok Pater Servas adalah peristiwa tahbisannya yang sangat meriah di Gereja Roh Kudus Babakan tanggal 9 Juli 1969. Peristiwa yang mendapat perhatian dari  para pejabat  di Bali. Ketua Umum Panitia tahbisan, seingat saya adalah bapak Piet Puryatma  yang waktu itu  adalah frater  yang sedang menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP)  di Tuka. Wakilnya  bapak Kapten Yohanes Maria Cokorda Oka Sudarsana. Beliau ini benar-benar bekerja  dan semua terasa beres di bawah koordinasi bapak Cokorda.



Kebersamaan saya dengan Pater Servas  adalah mulai beliau ditunjuk menjadi Pastor Paroki Santo Yoseph Denpasar. Sebagai imam muda ia harus mengunjungi umat yang tinggal secara sporadis di Kuta, Nusa Dua dan Tanjung Benoa. Ia juga mengunjungi umat di Gianyar, Klungkung dan Karangasem. Pater Servas  sangat penuh semangat dan penuh perhatian  mengunjungi umat. Bagi saya, itu kelebihan Pater Servas. Ia benar sosok imam yang mesioner, mewartakan Injil dengan berkunjung ke tempat umat berada. Peran Pater Servas terhadap berdirinya paroki  baru seperti  Paroki Kuta, Monang Maning, Gianyar, Klungkung dan Karangasem  sangat besar.



Saya juga mengenal Pater Servas  sangat berpegang teguh pada prinsip hidupnya. Yang ia rasa benar akan ia pertahankan. Jika salah, ia akan mengakui bahwa  salah. Ia juga punya komitmen yang tinggi. Semangat merasulnya  sangat tampak  dalam semua karya pastoral yang telah dijalankannya selama  bertugas di Paroki Santo Yoseph dari tahun 1976  sampai sekarang. Jika ia bisa merayakan Emas Imamat, itu sungguh rahmat Tuhan. Saya, sebagai umat yang pernah aktif di Dewan Paroki Santo Yoseph turut bangga dan bersyukur. Saya ucapkan selamat merayakan  ulang tahun ke-50 tahbisan imam.*** 

 
Marsel Jemalit



Marsel Jemalit lahir di Manggarai Flores  26 September 1959 dan  mulai tinggal di Kota Denpasar sejak tahun 1981. Aktif  di Dewan Pastoral Paroki Santo Yoseph  brtsesl  sebagai Pengurus Lingkungan St. Maria Regina tahun 1992. Pada tahun 2004  dipercayakan sebagai Ketua Dewan Pastoral Paroki  sampai dengan tahun 2016. Selama memangku kepercayaan sebagai Ketua DPP, kerja sama yang fenomenal  adalah merencanakan  dan merealisasikan pembangun Gereja Yesus Gembala Yang Baik Ubung dan Griya Bhakti Pastoral.

Terkait dengan pesta syukur 50 Tahun tahbisan imamat Pater Servas, berikut ini kesan-kesan Marsel terhadap sosok imam pertama Keuskupan Denpasar ini. Kesan saya pada  sosok pater Servas, dia adalah salah satu imam yang visioner, memikirkan Gereja masa depan, dan ingin mewariskan hal yang berharga bagi anak cucu di masa depan. Ia memikirkan pengembangan Gereja  dengan istilah  pembangunan Gereja “Nyatur Desa atau empat penjuru territorial  timur, barat, utara dan selatan. Ia bahkan sudah mencari tanah sampai di Petang. Di wilayah timur, tanahnya  sudah ada  yakni di  Br. Ketewel.


Pater Servas itu adalah  fondator untuk pengembangan gereja  katolik yang berakar kuat pada nilai budaya, inkulturatif dan sarat dengan muatan kearifan local. Pater Servas sangat berpegang teguh pada prinsipnya. Namun  ia juga  mendengarkan masukan yang baik. Saya sering memberikan masukan padanya dan ia mendengarkan terutama dalam hal pembagian tugas, apa tugas yang  harus dikerjakan DPP dana pa yang menjadi domain Pastor Paroki.

Pater Servas itu sangat taat pada panggilan hidupnya. Tentu ia tetaplah manusia  yang tak luput dari kelemahan tetapi saya paling pahami, beliau juga manusia  yang lemah seperti kita yang lain.   Harapan saya, di hari tuanya, semoga ia menjadi inspiring bagi kita  semua dan semoga hbcpesannya  bahwa Gereja Santo Yoseph Kepundung dan Gereja Yesus Gembala Yang Baik Ubung tetap menjadi satu bagian yang tak terpisahkan menjadi kenyataan. Meskipun akhirnya hanya waktu yang menentukan.


Pencapaian usia imamat Pater Servas yang sampai 50 tahun pantas dirayakan dan menyukuri pencapaian ini. Ini bukti bahwa Tuhan telah bekerja pada diri Pater Servas sehingga memampukan dirinya menerima panggilan yang luhur ini.  Pater Servas diutus untuk kita para umat. Terima kasih pater Servas atas dedikasi  dan keberanian menjawab panggilan Tuhan menjadi imam yang menerima perutusan ke Paroki Santo Yoseph Denpasar dan Keuskupan Denpasar umumnya. Hormat dan terima kasih kita pernah  “Berjalan Bersama”  menurut tugas dan tanggung jawab kita masing-masing. Selamat merayakan Imamat Emas Pater. Terima kasih dan syukur  kepada Tuhan.***



Aron Meko Mbete

Prof.Dr. Aron Meko Mbete lahir di Wolosoko Wolowaru Ende 23 Juli 1943. Ia  menginjakkan kaki pertama kali di pelabuhan Benoa pada 27 Januari 1967. Dan sejak itu ia menjadi warga Kota Denpasar dan warga Paroki Santo Yoseph Denpasar.  Ia menuturkan waktu itu Paroki Santo Yoseph  membawahi wilayah  hampir di seluruh  Bali Timur.  Saat  mulai aktif di Paroki St. Yoseph tahun 1967  pastor parokinya adalah Pater J. Heijne, SVD yang  bertugas sejak tahun 1949. Sebagai orang muda Aron bertugas sebagai juru parkir sepeda milik umat saat misa Minggu pagi. 


Dalam perjalanan waktu Aron pun aktif di Pemuda Katolik, PMKRI, Legio Maria dan kelompok koor. Bahkan di masa kegembalaan Pater Heijne dan Pater Paulus Boli Lamat (1970-1976)  Aron adalah organis andalan. Pada 24 Mei 1976 terjadi serah terima pastor paroki St. Yoseph Kepundung dari Pater Paulus Boli Lamak ke pastor Drs. Servatius Subhaga,SVD. Tentang kebersamaan  dengan Pater Servas berikut ini penuturan Aron Meko Mbete.


Saya mengenal Pater Servas  sejak ia ditahbiskan menjadi imam pada 9 Juli 1969. Waktu itu saya sedang kuliah di Fakultas Sastra Unud  sambil mengajar di SD Kartika milik Angkatan Darat. Sebelumnya tahun 1967 sampai 1968 saya mengajar di SDK Swastiastu. Seingat saya tahbisan Pater Servas di Babakan itu sangat meriah karena merupakan peristiwa pertama kali di Bali. Saya semakin mengenal Pater Servas setelah ia menjadi pastor paroki Santo Yoseph sejak 1976  dan sampai saat ini.


Pater Servas itu pribadi yang  punya komitmen tinggi  terhadap panggilan hidupnya sebagai imam. Pelayanannya sebagai imam dijalankannya dengan serius. Ia sangat missioner dan visioner. Banyak sekali terjadi baptisan baru dewasa saat natal dan paskah. Ini bukti bahwa pater Servas  sungguh missioner. Ia benar-benar sangat bersemangat melakukan kunjungan ke umat dan merayakan ekaristi di mana saja ia diminta.


Pater Servas  merintis berdirinya beberapa paroki baru misalnya  Paroki Fransiskus Xaverius Kuta, paroki St. Petrus Monang Maning, Paroki Katedral, Paroki Gianyar, Stasi Klungkung dan Stasi Karangasem. Pater Servas secara rutin mengunjungi umat  di Gianyar, Klungkung dan Karangasem untuk merayakan ekaristi. Saya harus mengakui bahwa kotbah Pater Servas itu  sangat kateketis. Penghayatan imannya dan imamatnya lewat perayaan ekaristi sangat mendalam. Pelayanannya kepada umat puluhan tahun penuh semangat.


Saya dengan Pater Servas cukup dekat. Yang mendekatkan saya dengannya adalah organ. Sebab  setiap misa sayalah yang organis. Saya mengenal pater Servas  sebagai seniman dan budayawan. Ada beberapa tarian yang lahir dari idenya  yakni tarian Yesus Gembala Yang Baik, Magnificat dan Pamujih Maria. Tarian Yesus Gembala Yang Baik dan Magnificat dipentaskan di Pesta Kesenian Bali beberapa tahun lalu. Penari yang berperan sebagai Yesus  adalah penari Bali yang Hindu. Hubungan baik Pater Servas dengan para seniman hindu dibangunnya dengan sangat baik dan harmonis.


Pater Servas saat merayakan ekaristi sangat sakral. Ia juga memasukkan seni dan budaya ke dalam tata liturgy. Inkulturasi dalam liturgy menjadi perhatiannya. Ia sungguh-sungguh mengkarkan budaya Bali dalam Gereja Katolik di Paroki Kepundung. Maka tidaklah mengherankan jika bangunan Gereja Yesus Gembvala Yang Baik menjadi karya besar Pater Servas yang sangat sarat dengan  symbol-simbol  budaya Bali. Karena itu menurut saya, para imam muda harus belajar  dari Pater Servas terutama bagaimana ia  memadukan Injil dan budaya Bali. Sebab ia membuka ruang dialog  kultural  Bali  sehingga  iman berakar dan membumi di Bali.


Secara khusus saya mengucapkan syukur atas 50 tahun imamat Pater Servas. Usia imamate mas yang dicapai oleh pater Servas  kiranya menjadi  ungkapan iman  bagi kita semua  dan menjadi komitmen baru bagi  generasi penerus gereja  untuk membumikan firman melalui budaya Bali. Sehingga Gereja Bali adalah benar-benar Gereja Kristen Katolik Bali, bukan Gereja  Kristen Katolik di Bali. Selamat merayakan  50 tahun imamat Pater Servas. Terima kasih karena Pater telah membuat iman saya semakin diteguhkan melalui kotbah dan pendampingan selama ini.***




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Romo Agustinus Lie,CDD *)

Menjadi Gembala “Berbau” Domba

Paroki Maria Bunda segala Bangsa Nusa Dua