50 TAHUN IMAMAT P.SUBHAGA (12)
Kesan & Kenangan Keluarga
Bagaimana kesan dan kenangan keluarga terhadap sosok Pater Servatius Subhaga,SVD?
Tim Penulis Buku ini meminta kesan dan
kenangan dari keluarga dekat Pater
Servatius Subhaga,SVD di Batulumbung dan Tuka.
Theresia Ni Wayan Warti adalah satu-satunya adik kandung
Pater Servatius Subhaga,SVD yang lahir
pada tahun 1945 dan masih hidup sampai sekarang. Tiga bulan setelah Ni Wayan
Warti lahir bapak I Wayan Gulis meninggal dunia. Sat itu Pater
Servas berusia delapan tahun. Maka
mereka pun menjadi anak yatim.
Yang Theresia
ingat adalah ketika Pater Servas pamit
pada ibunya untuk pergi ke Mataloko Flores. Ibunya satu hari tak bicara. Tetapi
kemudian ia mengijinkan pater Servas
pergi ke Mataloko. Waktu itu usia Theresia enam tahun. Sebagai seorang adik,
Theresia sering merindukan kakaknya.
Setelah sepuluh bulan Pater Servas kembali ke Bali ia merasa sangat senang.
Pada tahun 1956 usia Theresia 11 tahun, Pater Servas kembali pamit pada
ibunya untuk melanjutkan sekolah di Seminari Mertoyudan. Tahun 1957 ia
menyelesaikan SRK Tuka lalu melanjutkan
pendidikan di SKKP di Palasari. Selama empat tahun ibu Ni Made Rente tinggal
sendiri. Setelah selesaikan SKKP ia tidak melanjutkan sekolah karena kasihan ibunya tingal sendiri.
Pada tahun 1961 Pater Servas kembali pamit pada ibu untuk
ke Flores melanjutkan sekolah demi mencapai cita-citanya menjadi pastor. Waktu itu Theresia berusia 22 tahun.
Ia menikah dengan Bernadus I Wayan
Sudri. Pater Servas kalau liburan pasti menyelesaikan waktu liburannya di rumah bersama ibu . Itu mulai ia sekolah
di Seminari Tangeb, di Mertoyudan dan di
Ledalero.
Pada saat Pater Servas ditahbiskan menjadi imam pada 9
Juli 1969 Theresia merasakan kebahagiaan
yang luas biasa sama seperti ibunya. Tahbisan itu menjadi peristiwa langka saat
itu sehingga menarik perhatian umat
Hindu. Ia menuturkan, “Saya melihat ibu sangat bahagia dan saat Pater Servas sungkem, ibu menumpangkan tangan
di kepala dan menitikkan air mata. Saya
ikut terharu dan meneteskan air mata”.
Di usia imamat 50 tahun ini, sebagai adiknya saya
bahagia dan bersyukur karena kakak bisa
setia pada panggilannya. Lebih bahagia karena usia yang panjang dan usia imamat yang panjang telah diberikan
oleh Tuhan. Kami berdoa untuk kebahagiaan kakak Servas yang setia dalam imamatnya.
Pasutri Paulus Kt.Dongker
&
Ni Made Theresia
Ibu Ni Made Theresia
adalah anak dari ibu Ni Made
Rapiyem adik kandung dari ibu Ni Made Rente
yang lahir tahun 1949. Ia adalah istri dari bapak Drs. Paulus I Ketut
Dongker. Ia menuturkan pada saat tahbisan Pater Servas di Babakan 9 Juli
1969 ia berusia 20 tahun dan belum
menikah. Ia ingat betul diberi kepercayaan menyerahkan kado dari Paroki
Tuka.”Saya tidak tahu kado apa, tapi
saya yang menyerahkan kepada Pater Servas”.
Menurutnya Pater Servas didoakan oleh ibunya Ni Made
Rapiyem supaya menjadi imam. Setiap malam ibu berdoa Rosario dengan ujud agar Tuhan memilih Pater Servas
menjadi imam. Doa terkabul dengan
ditahbiuskannya Pater Servas pada 9 Juli
1969. Namun ibu Ni Made Rapiyem
meninggal beberapa tahun sebelum
Pater Servas ditahbiskan. Ia punya kesan, Pater Servas itu setia dalam
panggilan, penuh perhatian kepada umat dan keluarga. Ia tegas dan pegang teguh pada keyakinan benar itu
benar dan salah itu salah.
Bapak Agustinus I Wayan
Suwarjaya
Agustinus I Wayan Suwarjaya adalah putra sulung dari ibu
Theresia Ni Wayan Warti, adik kandung dari Pater Servatius Subhaga, SVD. Ia
menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Sejak tahun 1976
ia tinggal menemani ibu Ni Made
Rente di Batu Lumbung sedangkan orang tuanya tinggal di Tuka. Tahun 1991 saat ibu Ni Made Rente meninggal
Pater Servas memintanya tetap tinggal di rumah neneknya itu.
Menurutnya Pater Servas itu tegas dan sangat memegang teguh prinsip
hidupnya. Sampai saat ini kami memandang
Pater Servas sebagai “bapa”. Jadi
kami sering bertemu untuk minta nasihat, wejangan dan minta berkat. Waktu 25 tahun imamat dirayakan dengan misa syukur di rumah orang tuanya di
Batulumbung. Sederhana namun
mengesankan. “Kami pernah Tanya, Pater
bagaimana dengan perayaan 50 tahun imamat nanti. Pater jawab, keluarga tidak usah
repot, umat paroki sudah memikirkannya. Kami bersyukur Romo 50 tahun, pesta
emas imamatnya. Apa lagi Pater masih
melayani umat sampai di usianya yang
sudah 81 tahun.”
Ibu Katharina Ni Nyoman
Triwahyuni
Katharina Ni Nyoman Triwahyuni atau biasa disapa Koming adalah anak ketiga dari ibu Theresia Ni Nyoman Warsi, adik kandung dari Pater Servas. Ketika Pater Servas ditahbiskan menjadi imam di Gereja Roh Kudus Babakan ia baru berusia sembilan tahun. Tetapi ia ingat betul bahwa suasana tahbisan saat itu sangat sakral dan terasa istimewa. Ia juga diberi kepercayaan oleh Paroki Tri Tunggal Tuka untuk menyerahkan kado kepada Pater Servas.”Saya tidak tahu kado apa tapi saya yang diberikan kesempatan untuk menyerahkan kepada Pater”, ujarnya.
Katharina Ni Nyoman Triwahyuni atau biasa disapa Koming adalah anak ketiga dari ibu Theresia Ni Nyoman Warsi, adik kandung dari Pater Servas. Ketika Pater Servas ditahbiskan menjadi imam di Gereja Roh Kudus Babakan ia baru berusia sembilan tahun. Tetapi ia ingat betul bahwa suasana tahbisan saat itu sangat sakral dan terasa istimewa. Ia juga diberi kepercayaan oleh Paroki Tri Tunggal Tuka untuk menyerahkan kado kepada Pater Servas.”Saya tidak tahu kado apa tapi saya yang diberikan kesempatan untuk menyerahkan kepada Pater”, ujarnya.
Koming mengaku
cukup dekat dengan Pater Servas
bahkan sampai saat ini. Ada beberapa kebutuhan Pater Servas yang setiap minggu harus ia bawa ke Kepundung saat Pater Servas masih tinggal di Kepundung
dan ke Ubung saat sudah tinggal di Gereja YGYB Ubung. Misalnya
kopi jahe itu sampai saat ini masih menjadi kesukaan Pater Servas. Di mata
Koming pamannya itu sangat kebapakan. Ia
sayang pada anak-anak dan pada keluarga.
“Pater Servas yang adalah paman kami adalah ayah yang membimbing kami anak-anak
agar hidup sesuai dengan iman”, ujarnya.
Kesan Para Sahabat
Bapa Uskup Emeritus
Kherubim Pareira, SVD
Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD lahir di Lela, Sikka, Nusa Tenggara Timur, 26 September 1941 dari pasangan bapak Aloysius Yulius Pareira dan ibu Elisabeth da Iku Pareira. Ia adalah anak kelima dari 12 bersaudara. Ia adalah Uskup Maumere yang menjabat dari 19 Januari 2008 sampai 14 Juli 2018. Sebelumnya, Mgr. Kherubim Pareira, SVD merupakan Uskup Weetebula sejak 21 Desember 1985 dengan motto episkopat “Ut Omnes Sint” (Yoh 17:21), supaya mereka semua menjadi satu.
Pada 14 Juli 2018 Mgr. Kherubim mengakhiri tugasnya
sebagai Uskup Maumere dengan penunjukkan tahta suci kepada penerusnya Mgr.
Ewandus Martinus Sedu,Pr yang
ditahbiskan pada 26 September 2018
dimana Mgr. Kherubim menjadi uskup pentahbis utama. Mgr. Kherubim adalah teman satu angkatan di Novisiat SVD
Ledalero dan teman satu angkatan belajar Filsafat di STFK Ledalero.
Sabtu 8 September 2018 pukul 09.00 wita saya
berkesempatan emas bertemu dengan Bapa Uskup Emeritus Maumere Mgr. Cherubim
Pareira, SVD. Pertemuan tanpa membuat janji terlebih dahulu. Ketika sampai di
istana keuskupan saya bertemu dengan bapa uskup Maumere terpilih Mgr. Ewaldus
Martinus Sedu, Pr. Beliau lalu menyampaikan kepada Bapa Uskup Kherubim bahwa
ada saudara saya dari Denpasar ingin bertemu dengan Bapa Uskup. Karena
Bertepatan dengan kunjungan Wakil Gubernur NTT Joseph Nae So’i ke Keuskupan
maka saya harus menunggu sampai acara selesai.
Tepat jam 11.20 wita Bapa Uskup Emeritus Kherubim Pareira
berkenan menerima saya untuk sebuah wawancara. Ketika saya mengucapkan salam
selamat siang Bapa Uskup Kherubim langsung menyambung “Dari Bajawa ko? Aksennya
khas Bajawa”. Saya jawab, betul yang mulia. Bapa Uskup pun bertanya, jauh-jauh
dari Bali, cari saya, ada yang bisa saya bantu? Saya menjelaskan bahwa salah
seorang imam SVD yang berkarya di Bali pada
9 Juli 2019 akan merayakan 50 tahun imamatnya. Dia putra Bali pertama
yang ditahbiskan menjadi imam.
Bapa Uskup pun bertanya siapa namanya. Saya sebutkan nama
Pater Servatius Subhaga, SVD. Begitu mendengar saya menyebut nama Pater
Servatius Uskup Kherubim langsung menyambung, ya, dia teman angkatan novisiat
SVD di Ledalero tahun 1961-1963. Nama lengkapnya Servatius I Nyoman Ronsong.
Kami sama-sama masuk novisiat tahun 1961. Ada 23 orang dan lima orang di
antaranya dari Bali. Selain Servas, demikian nama yang biasa kami panggil
sehari-hari, ada empat orang lainnya dari Bali. Saya masih ingat nama mereka
yakni Paulus Tirtha, Alex Widjana, Jan Tantra dan Fidelis Pandu. Coba tanya
kepada Pater Servas, pasti dia masih ingat. Tapi seingat saya dari mereka
berlima hanya dua orang sampai ditahbiskan jadi imam yakni Servatius I Nyoman
Ronsong dan Fidelis Panda. Fidelis hanya setahun novisiat SVD lalu pindah tahun
rohani di Ritapiret. Alex dan Jan memilih mengundurkan diri.
Bapa Uskup Kherubim juga masih ingat hoby Pater Servas
saat masih frater di Ledalero. Kata Bapa Uskup, Servas itu berjiwa seni. Ketika
novisiat baru dibangun Servas dan teman-teman dari Bali yang menata taman.
Pater Servas saat masih frater sangat rajin. Dia bicara sedikit banyak kerja.
Taman yang ia tata pasti indah dipandang mata. Servas juga pribadi yang mudah
bergaul dengan siapa saja. Kegemarannya pada olahraga sepak bola dan bola voli
membuatnya banyak teman. Saya dan Servas satu tim sepak bola novisiat, maupun
satu angkatan selama studi filsafat. Pater Servas sangat piawai bermain bola
kaki dan voli. Mungkin itu yang membuatnya sehat. Saya jarang dengar dia sakit.
Kalau saya tidak salah usianya sekarang mendekat 80 tahun. Ketika saya infokan
bahwa Pater Servas baru saja merayakan 80 tahun usia dan sampai sekarang masih
berkarya sebagai pastor pembantu di Paroki St. Yoseph Denpasar Bapa Uskup
Kherubim katakan, salut dengan semangat Pater Servas.
Bapa Uskup Kherubim mengisahkan. Saat novisiat 1961-1963,
pater magister novisiat adalah P. Richard Neuwendyk,SVD. Selama tiga tahun di
Novisiat Pater Servas tak mengalami hambatan akibat perbedaan latar belakang
suku dan budaya. Pergaulan biasa saja. Memang ada satu dua hal dimana teman-teman
dari Bali merasa asing. Terutama soal makanan. Di masa awal teman-teman dari
Bali bisa makan apa saja yang disajikan dari dapur. Tetapi soal menu bunga
pepaya Pater Servas dan teman-teman dari Bali tidak sentuh memang. Kami heran
mengapa mereka tidak makan. Setelah kami tanya terus mereka baru mengaku orang
Bali takut makan bunga pepaya karena berhubungan dengan kepercayaan adanya
kekuatan negatif bernama Leak. Tapi setelah masuk tahun kedua dan seterusnya
mereka makan.
Lebih lanjut Bapa Uskup Kherubin kisahkan, tahun 1963
mulai belajar filsafat. Kami ada banyak yang masuk kuliah filsafat karena
gabung dengan frater-frater praja dari Ritapiret. Antara lain dengan Fr.
Marselus Myarsa. Seingat saya Pater Servas bersama kami yang lain belajar
filsafat tahun 1963 sampai 1965. Setelah itu kami berpisah. Saya pergi Tahun
Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Kisol
sedangkan Servas tidak pergi TOP. Dia melanjutkan terus belajar teologi
tahun 1966 sampai 1968. Kalau tidak salah frater SVD angkatan kami yang tidak
TOP itu tiga orang yakni Fr. Servas, fr. Simon Sempau dan Fr. Bosco Beding. Fr.
Servas dan fr. Simon dipandang sudah matang dan dewasa sedangkan fr. Bosco
Beding karena kecakapannya dibutuhkan. Bapa Uskup Kherubim kisahkan bahwa
ketika ia kembali dari TOP fr. Servas sudah menyelesaikan studi teologi dan
dipersiapkan untuk tahbisan diakon. Saya ingat mereka ditahbiskan diakon di
Seminari Ledalero.
Memang ada beberapa hal yang membuat teman-teman frater
dari Bali mengalami hal yang tidak enak dan nyaris mengganggu panggilan mereka.
Ketika novisiat tak ada masalah. Di bawah bimbingan magister Pater Richard kami
aman saja. Tapi ketika belajar filsafat atau dikenal sebagai frater skolastika,
para frater dari Bali mendapat tekanan psikologis dari Magister. Pasalnya
Magister lama dinilai terlalu memanjakan para frater dari Bali. Ketika berganti
Magister terjadi tekanan secara psikologis. Tapi semua itu cepat berlalu. Pater
Servas itu memang berniat sungguh-sungguh menjadi imam SVD. Ia bisa melewati
semua gangguan dan halangan. Jadi pantas kalau Pater Servas merayakan syukur
Emas 50 imamatnya.
Kesan Bapa Uskup Kherubim terhadap Pater Servas: Pater servas itu selalu
bertutur kata halus, tidak pernah keras atau berkata kasar dan tidak pernah
marah. Ia sangat tekun berdoa. Ia penuh tanggung jawab melaksanakan tugas yang
diberikan terutama mengurus taman. Ia elastis dalam pergaulan dengan
frater-frater yang lain.
Akhirnya sebelum berpisah saya minta Bapa Uskup Cherubim
foto bersama. “Biar panitia percaya bahwa saya benar bertemu dan berbincang
dengan Bapa Uskup.” Ia tersenyum sambil menjabat tanganku. Ia titip pesan:
Salam untuk Pater Servas dan teman-teman yang saya pernah kenal. Terima kasih
Bapa Uskup. Epan Gawang.***
Pater Paulus Boli
Lamak, SVD
Pater Paulus Boli Lamak,SVD lahir di Desa Bakan Kecamatan Atadei
Kabupaten Flores Timur 4 Juli 1935. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 17 April 1966. Ia menjalankan karya
imamatnya di Bali pada tahun1966 sampai 1976
termasuk berkarya di Paroki Santo Yoseph Denpasar, berkarya di Surabaya
pada tahun 1976 sampai 1981, berkarya di
Jakarta menjadi Pastor Paroki Matraman Jakarta pada 1981 sampai 1988. Kemudian
kembali ke Seminari San Dominggo Hokeng pada tahun 1988 sampai sekarang.
Siang itu, Minggu 9 September 2018 saya bertemu dengan
Pater Paulus Boli Lamak, SVD di Seminari San Dominggo Hokeng Larantuka. Kami
duduk di teras tepat di depan kamar tidurnya. Yang ia tanya pertama kepada saya
adalah: Bapak dari mana? Saya jawab, saya dari Denpasar. Tapi saya lahir di
Bajawa. Lalu ia pun menanyakan, kira-kira ada keperluan apa bertemu dengan
saya?
Sayapun menyampaikan maksud, bertemu Pater untuk minta
komentar berkaitan dengan salah seorang konfrater SVD yang akan merayakan 50
Tahun imamat pada 9 Juli 2019. Saya sampaikan , SVD akan merayakan 50 tahun
imamatnya. Pater Paulus spontan menanggapi, yah betul. Pater Servas imam
pertama Keuskupan Denpasar, imam pertama asli orang Bali.
Lalu mengalirlah kenangannya bersama Pater Servas baik di
Ledalero maupun selama ia bertugas di Bali.Di Seminari Ledalero, saya menjalani
novisiat dari tahun 1958 sampai 1960. Sedangkan Pater Servas datang untuk
Novisiat tahun 1961. Jadi saya kurang dekat dengannya selama di Ledalero.
Mungkin kami angkatan berbeda. Novisiat tinggal sendiri sedangkan frater skolastikat
tinggal sendiri. Saya kaul kekal pada 15 Agustus 1965, saat itu Pater Servas
masih di tahun ketiga skolastikat. Jadi otomatis kami tidak terlalu saling
kenal. Setelah kaul kekal saya ditahbiskan diakon tahun 1965 dan setelah itu
saya pergi praktek diakonat lalu ditahbiskan menjadi imam pada 17 April 1966 di
Larantuka. Jadi semasa di Ledalero saya tidak terlalu dekat dengan Pater
Servas.
Setelah ditahbiskan menjadi imam saya dibenum sebagai
misionaris domestik region Jawa tahun 1966 di Bali Lombok. Tugas pertama saya
adalah Pastor Paroki di Paroki Tuka sejak 16 Agustus 1966 sampai 26 April 1970.
Waktu itu Paroki Tuka dimekarkan menjadi dua Paroki yakni Tuka dan Babakan.
Pater Nobert Shadeg, SVD menjadi pastor paroki Babakan.
Pater Paulus Boli mengaku baru mengenal dekat dengan
Pater Servas saat ia ditahbiskan menjadi imam pada 9 Juli 1969 di Paroki
Babakan. Tahbisan Pater Servas itu yang pertama dilakukan di Bali. Uskup
penahbis adalah Mgr. DR. Paulus Sani Kleden, SVD. Saya termasuk imam yang
mendampingi Uskup Paulus saat misa tahbisan. Kesan saya, misa tahbisan Pater
Servas sangat meriah dan menarik perhatian masyarakat Bali yang Hindu. Waktu
itu Pater Servas masih muda sekali. Saya juga imam muda Balita, bawah lima
tahun. Saya ingat betul Uskup Paulus dalam kotbahnya berharap agar setelah
tahbisan Pater Servas ini, akan ada tahbisan imam lainnya putra asli Bali.
Tahun 1970 saya pindah ke Paroki Palasari sejak 26 April
1970. Pater Paulus melanjutkan, tahun 1971 saya dipindahkan ke Paroki St.
Yoseph Denpasar. Jadi saya hanya satu tahun sebagai pastor paroki di Palasari.
Waktu itu wilayah paroki St. Yoseph mencakup Denpasar, Kuta Nusa Dua, Gianyar,
Karangasem, Kungkung dan Monangmaning. Jadi belum ada paroki Katedral, Kuta,
Nusadua, Gianyar, Klungkung, Karangasem, Monangmaning. Pelayanan di Kuta Nusa
Dua dilaksanakan di Gereja Ekumene Kuta (depan patung kuda). Tapi karena saya
masih tergolong imam muda jadi terasa biasa saja. Selama saya pastor paroki St.
Yoseph, saya tidak pernah bertemu dengan Pater Servas. Hal ini karena beliau
studi kateketik di Yogyakarta dari 1973 sampai 1976. Tahun 1976, tepatnya 24
Mei 1976 saya menyerahkan jabatan pastor paroki St. Yoseph kepada Pater
Servatius Subhaga, SVD.
Tentang pribadi Pater Servas, Pastor Paulus punya kesan,
Pater Servas itu tidak mau menyusahkan orang lain. Ia sangat mandiri. Dia lebih
suka mengerjakan sendiri apa tugas dan tanggung jawabnya. Pater Servas itu,
sama seperti kebanyakan orang Bali, berjiwa seni dan taat pada budaya Bali.
Rasa estetikanya itu ia tuangkan dalam bentuk bangunan dengan ornamen Bali yang
syarat makna. Setiap saya berobat ke Surabaya, saya mesti singgah di Denpasar
dan berusaha bertemu dengan pater Servas. Ia pasti mengajak saya melihat-lihat
ornamen bangunan Gereja Yesus Gembala Yang Baik di Ubung. Dia akan sangat penuh
semangat menjelaskan arti dari ornamen yang ia bangun itu.
Suatu ketika saya bersama Pater Servas makan bersama di
sebuah restoran. Saya katakan padanya, pater Servas harus bukukan karya seni
pada bangunan Gereja Ubung itu supaya bisa diwariskan. Umat kita di Santo
Yoseph itu umumnya diaspora yang kurang paham budaya Bali. Saya katakan, banyak
orang Bali juga yang tidak mengerti. Dengan dibukukan maka ada pewarisan.
Ketika saya katakan bahwa Varia Foto Ornamen Gereja Kepundung dan Gereja Ubung
sedang digarap untuk dibukukan Pater Paulus tampak sangat senang.
Ketika saya tanya pada pater Paulus, mungkin ada pesan
untuk Pater Servas, ia mengatakan: Saya pesan hal ini pada Pater Servas, kalau
ada pekerjaan berat, saatnya serahkan pada yang lebih muda. Usia kita ada
batasnya. Dan ada saatnya pula untuk istirahat, membaca atau menulis. Menikmati
masa senja. Salam hormatku untuk Pater Servas dan umat Paroki Santo Yoseph.
Semoga mereka masih mengenang dan mengingat saya.***
Romo Bosco Terwinyu,
Pr
Ketika mencari data sejarah Gereja Bali di Sekretariat
Keuskupan Agung Ende di Ndona, saya dibantu oleh Romo Bosco Terwinyu, Pr. Dia
iman praja Keuskupan Agung Ende yang paling senior dari segi umur. Ketika saya
sebut nama Pater Servas, Romo Bosco langsung mengatakan kenal dengan Pater
Servas. “Saya kenal, semasa frater namanya Servatius I Nyoman Rongsong”,
ujarnya.
Romo Bosco mengisahkan, dirinya frater praja, tinggal di
Seminari St. Petrus Ritapiret. Sedangkan Servas frater SVD tinggal di Seminari
St. Paulus Ledalero. Meski demikian sebagai mahasiswa sering bertemu. Di masa
studi filsafat dan teologi, frater Servas itu mudah bergaul, ramah dalam
bergaul. Dia akrab dengan siapa saja, termasuk dengan kakak tingkat.
Romo Bosco mengaku kakak tingkat dua tahun di atas Pater
Servas. Dulu frater-frater baik SVD maupun Praja, jumlahnya masih sedikit. Jadi
masih mudah menghafal nama-nama teman. Romo Bosco mengenal Pater Servas di saat
masih frater sebagai salah satu frater yang rasa kesenimanannya sangat kental.
Ia juga senang olahraga sepak bola. Dulu, waktu masih frater tubuhnya sangat
atletis. Dia senang berolahraga. Romo Bosco mengaku mengenal dekat Pater Servas
saat masih frater dan kuliah bersama di Ledalero.
Romo Bosco Terwinyu Pr mengaku merayakan 50 tahun
imamatnya pada 1 Mei 2016 lalu. Berarti ditahbiskan menjadi imam pada Mei
1966.”Saya tiga tahun di atas Pater Servas. Waktu saya ditahbiskan tahun 1966
Pater Servas sedang belajar teologi. Di masa kami kuliah dulu semua nama mata
kuliah dalam bahasa latin. Demikian tutur Romo Bosco.***
Romo Dominikus Balo,
Pr
Catatan Penulis: Saat wawancara ini dibuat Romo Dominikus
Balo,Pr masih hidup. Ia meninggal dunia pada Selasa 5 Pebruari 2019 di RSU
Bajawa Kabupaten Ngada NTT.
Romo Dominikus Balo, Pr adalah mantan Preses Seminari St.
Petrus Ritapiret periode 1987-1990. Saat ini ia mengajar bahasa latin di
Seminari Menengah Yohanes Berchmans Todabelu Mataloko. Dia alumni Seminari
Mataloko 1954 -1961. Tahun 1962 menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) di
Seminari Tinggi St. Petrus seangkatan dengan Romo Marcellus Myarsa,Pr. Tahun
1963-1965 kuliah filsafat kemudian menjalankan Tahun Orientasi Pastoral selama
dua tahun. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 26 Juli 1970. Pada 26 Juli 2020
nanti ia akan merayakan 50 tahun imamat.
Kebersamaan dengan Pater Servas adalah saat masih
sama-sama sebagai frater yang belajar filsafat 1963-1965. Sebagai teman satu
angkatan kami memang saling mengenal satu sama lain. Apa lagi jumlah frater
yang belajar filsafat di satu angkatan tidak banyak. “ Saya mengenal frater
Servas sebagai orang Bali yang suka keindahan. Dia sangat suka menanam dan
merawat bunga mawar. Di tangan dia bunga mawar yang masih kecil sudah
berbunga”, kisahnya.
Selama dua tahun kuliah bersama kami terlibat dalam
kelompok diskusi atau tugas lainnya yang diberikan para dosen. Di situlah kami
saling mengenal. Bahkan belajar watak orang Bali. Saya yakin Pater Servas juga
pasti belajar watak kami orang Flores. Hobi Pater Servas saat masih frater
adalah main voli. Tapi hampir semua olahraga dilakoni. Saya tahu itu karena
sering ada pertandingan antar angkatan filosofin. Dia bertubuh atletis.
Ada satu pengalaman yang saya masih ingat. Biasanya pada
pagi hari para frater Ritapiret rebutan kopi. Kadang-kadang ada yang tidak
dapat. Biasanya minum kopi tetapi kalau tidak minum kepala pusing. Jadi waktu
istirahat kami minum kopi di kamarnya teman-teman frater dari Ledalero,
termasuk di kamar Frater Servas I Nyoman Rongsong.
Seingat saya Frater Servas tidak menjalani tahun-tahun
Orientasi Pastoral. Terbukti ketika kami kembali dari TOP tahun 1967 Frater
Servas sudah di tingkat terakhir belajar teologi. Saya kurang tahu mengapa
tidak TOP. Itu juga yang membuat tahun tahbisan kami menjadi tidak sama.Dia
tahbisan Juli 1969 dab aaya Juli 1970.
Sebagai teman satu angkatan saat belajar filsafat, saya
gembira Pater Servas setia dalam imamatnya. Kesetiaan dalam imamat yang dialami
Pater Servas, juga diri saya sendiri adalah berkah yang luar bisa dari Tuhan
kepada kami. Tak ada ungkapan lain selain dengan penuh syukur menyampaikan
selamat berbahagia kepada Pater Servas yang bisa mencapai usia 50 tahun imamat.
Profisiat Pater Servas.***
Pater HJ Suhardiyanto,SJ
Pater HJ Suhardiyanto,SJ kini mengabdi di Lembaga
Pengembangan Kateketik PUSKAT Yogyakarta. Pater Hardiyanto mengaku dirinya kenal dengan Pater Servas
Subhaga, SVD. Ia menuturkan, waktu itu tahun 1973 lembaga pendidikan kateketik
ini masih bernama Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya. Sekarang adalah
Fakultas Pendidikan Agama Universitas Sanata Dharma. Ia katakan sejak 1973
lembaga pendidikan ini mengalami perubahan demi perubahan.Pater Servas masuk
sebagai mahasiswa doktoral di STKat Pradnyawidya tahun 1973.
Berikut ini penuturannya. Saya tahu pater Servas kuliah
di sini setelah menjadi imam. Saya adik kelas tetapi saya sangat mengenal Pater
Servas. Selain bertemu di kampus, pater Servas juga sering misa di Kentungan.
Jadi saya sering ketemu juga di Kentungan. Saya waktu itu frater SJ yang
ditugaskan belajar kateketik. Jadi saya kuliah sebelum ditahbiskan menjadi
imam. Saya baru selesai kuliah setelah menjadi iman, setahun sesudahnya. Saya
kenal Pater Servas sebagai kakak kelas. Dia orangnya ramah dengan semua orang.
Dia belajar selama tiga tahun dan selesai tahun 1976.Waktu kuliah di STKat,
namanya adalah Pater Servasius Subhaga, SVD. Jadi kami tidak mengenal nama
Servasius I Nyoman Rongsong. Hanya pernah dengar dari seorang mahasiswa asal
Bali tentang nama aslinya itu.***
Romo Hubertus Hady Setiawan,Pr lahir di Cimacan, 1 Juli
1954 dan ditahbiskan menjadi imam pada 15 Agustus 1986. Saat ini Romo Hady
adalah salah seorang Pembina di Seminari Roh Kudus Tuka. Ia pernah bertugas
sebagai Kepala Paroki St. Fransiskus Xaverius Kuta.Selain tugas tersebut Romo
Hady juga dipercayakan sebagai Ekonom Keuskupan Denpasar dan di Yayasan Insan
Mandiri.
Di masa kegembalaan Mgr. Vitalis Djebarus,SVD Romo Hady
adalah Vikjen Keuskupan Denpasar. Ketika Uskup Denpasar Mgr. Vitalis
Djebarus,SVD meninggal tahun 1998, Romo Hubertus Hady Setiawan ditunjuk sebagai
administrator Keuskupan Denpasar sampai 5 Agustus 2000. Di masa kegembalaan
Uskup Benyamin Yosef Bria,Pr, Romo Hady adalah Vikjen Keuskupan Denpasar.
Romo Hady mengenal dekat Pater Servas sejak 1986. Berikut
ini penuturannya. Saya mengenal Pater Servas
sejak 1986 saat saya baru ditahbiskan menjadi imam Keuskupan Denpasar.
Tetapi saya sering bertemu
dengannya sejak tahun 1982. Kesan saya
pada Pater Servas, dia seorang pekerja. Ia punya semangat melayani umat yang
sangat tinggi. Di masa ia sebagai Pastor Paroki Santo Yoseph tahun 1976 wilayah
pelayanannya mencakup Kota Denpasar
sampai wilayah Bali Timur.
Sebagai imam muda ia rajin mengunjungi umat di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kuta, Gianyar,
Klungkung dan Karangasem. Berdirinya paroki-paroki seperti Monang Maning, Kuta,
Katedral, Gianyar, Klungkung dan Karangasem
juga karena Pater Servas yang bekerja menyemaikan iman umat. Pater
Servas punya jasa besar terhadap pertumbuhan Gereja Lokal Bali khususnya di
Bali Timur.
Saya mengenal Pater Servas sebagai sosok yang sangat berpegang teguh pada sikap hidup dan
pandangan hidupnya. Ia memegang teguh komitmen. Kemauannya sangat kuat sehingga
apa yang diinginkan harus diwujudkan. Ia adalah seorang pelayan yang tak pernah
mengeluh. Maka pantaslah di hari bahagia 50 tahun imamat kita turut bersyukur bersamanya. Selamat Pesta
Emas 50 Tahun imamat.***
Romo Marcel Gede Myarsa lahir di Palasari pada 18 Maret
1942 sebagai anak sulung dari 11 bersaudara pasangan Bapak Mateus Nyoman Pegeg
dan Ibu Yosefina Nyoman Lange. Romo Marcell menyelesaikan pendidikan di SDK
Palasari lalu melanjutkan pendidikan di SMP Seminari Tuka dan SMA Seminari
Mertoyudan Magelang.Setelah itu menjalani Tahun Orientasi Rohani di Seminari
Tinggi Ritapiret lalu studi filsafat di Ledalero dan Teologi di Yogyakarta.
Pada 20 Juli 1971 ia menerima urapan imamat. Ia pernah menerima berbagai tugas
penggembalaan maupun tugas lainnya yang
dipercayakan Uskup kepadanya. Tugas yang pernah diembannya adalah sebagai Deken Bali Barat dan Pastor Paroki Negara. Karena usia, Romo
Marsel dibebastugaskan dari jabatan
Deken dan Pastor Paroki. Kini Romo Marsel berkarya di Seminari Roh Kudus Tuka sebagai staf pembina para seminaris.
Berikut ini penuturannya tentang sosok Pater Drs.
Srvatius Subhaga,SVD. Saya mengenal Pater Servas sejak Seminari Roh Kudus. Waktu itu ia kakak
tingkat di kelas II dan saya masuk tahun
pertama 1954. Setelah itu saat melanjutkan ke SMA Seminari
Mertoyudan Pater Servas juga kakak kelas. Saat di Ledalero kami jarang
bertemu karena Pater Servas waktu itu
tinggal di Ledalero sedangkan
saya tinggal di Ritapiret. Tetapi yang membuat kami bisa bertemu adalah lapangan bola kaki di
Wairpelit. Kami sering bertanding antara kesebelasan Ledalero dan
Ritapiret. Saya salah satu pemain dari Seminari
Ritapiret dan Pater Servas itu pemain dari Seminari Ledalero. Dia sangat piawai bermain
bola kaki.
Pater Servas itu sangat prinsipil, berpegang teguh
pada komitmen. Yang dia yakini benar
akan dipertahankannya. Semangat
melayani sangat tinggi. Saat menjabat
sebagai Pastor Paroki St. Yoseph tahun 1976, wilayah Paroki Santo Yoseph
terbentang di Bali Timur mulai dari Monang Maning, Kuta,
Nusa Dua, Gianyar, Klungkung, Bangli dan Karangasem. Pater Servas
benar-benar melayani umat yang tinggal
secara sporadis itu. Dia kuat, lincah, gesit
dan memiliki postur tubuh yang atletis.
Saat sama-sama
kuliah di Filsafat Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero Pater Servas
itu sangat tekun mengikutinya. Ia juga pintar
dan seingat saya, dia suka
membaca. Minat suka membaca ini membuat Pater Servas memiliki pengetahuan yang cukup luas.
Setelah belajar Kateketik di Jogyakarta,
Pater Servas sangat paham tentang
katekese. Saya sebagai imam Keuskupan Denpasar
salut dengan semangat pater Servas. Saya ikut bangga dan terharu
karena imam pertama Keuskupan Denpasar
bisa mencapai imamat emas 50 tahun. Profisiat Pater Servas.***
Kesan Para Awam
Bapak Alexiux I Wayan
Sentur Widjana
Alexiux I Wayan Sentur Widjana lahir di Batulumbung 6 Agustus 1939 dari
pasangan bapak I Tjekik dan ibu Ni Kari.Meskipun lebih adik
namun Pater Servas di masa kecil adalah
teman bermain. Pada saat ia sekolah
Kelas I di SR Untal-Untal, Pater Servas
duduk di kelas III. Saat dirinya naik kelas II dan Pater Servas naik ke
kelas IV mereka pindah ke SRK Tuka.
Menurut Alexius, setelah menyelesaikan pendidikan di SRK
Tuka tahun 1952 Pater Servas berangkat
ke Mataloko. Ia sendiri baru
menyelesaikan SRK tahun 1953. Karena Pater Servas dipulangkan dari Mataloko dan masuk Seminari
Roh Kudus Tangeb maka mereka pun menjadi satu kelas sampai menyelesaikan seminari itu tahun 1956. Dirinya bersama
Pater Servas, Johanes Wayan Tantra dan Fidelis I Made Pondal dikirim oleh Pater
Nobert Shadeg,SVD ke Seminari Mertoyudan pada tahun 1956. Di Seminari mereka
belajar selama kurun waktu 1956 sampai 1960.
Setelah menyelesaikan Seminari Mertoyudan Alexius, Pater Servas, Johanes Wayan Tantra,
Paulus I Made Tirta dan Fidelis I Made
Pondal meneruskan ke Novisiat SVD di Ledalero
Maumere pada 1961 sampai 1963.
Fidelis hanya setahun di SVD lalu pindah ke Seminari Ritapiret. Dirinya
melanjutkan ke studi filsafat tahun 1963
sampai 1965. Setelah itu tahun 1965-1967 menjalankan Tahun Orientasi
Pastoral di Biara Bruder St. Konrandus Ende Flores.
Diungkapkan Alexius, waktu kembali dari praktek
pastoral Pater Servas sudah belajar teologi karena ia tidak menjalani tahun orientasi pastoral. Seingatnya, Yohanes I Wayan Tantra Tarik diri
di Tangeb dalam tahun teologi III
tahun 1969. Paulus I Made Tirta keluar
sesudah satu tahun unatempo sebelum perpetua rows tahun 1969. Sedangkan Alexius
mengundurkan diri sebelum perpetual di Ledalero tahun 1970 lalu melanjutkan kuliah di Yogyakarta.
Menurutnya Pater Servas itu sejak di Seminari Roh Kudus Tangeb, Seminari
Mertoyudan dan di Seminari Tinggi
Ledalero adalah pribadi yang tekun dan
serius. Ia juga pribadi yang sangat berpegang teguh pada prinsip hidupnya,
memiliki kemauan yang kuat dalam menggapai suatu tujuan. Sebagai temannya saya ikut merasakan perjalanan pendidikan di
seminari sejak SMP di Tangeb sampai di Ledalero berlanjut dengan ia ditahbiskan sebagai imam pertama orang
Bali. Ikut merasakan suka dan duka
selama pendidikan berlangsung.
Diungkapkan Alex, dirinya sangat bangga karena Pater
Servas dapat menunjukkan kesetiaan
kepada imamatnya. Itu bukti dari prinsip
hidupnya yang kuat. Bahwa saat ini ia
bisa merayakan 50 tahun imamat, itu
berkat baginya dari Tuhan. Pater Servas sudah membuktikan betapa ia
setia pada Tuhannya, setia pada panggilannya, setia pada pengabdian,
pelayanan dan setia pada umatnya. Selamat pesta emas imamat Pater Servas.***
Bapak Raden
Yuventinus Soeharman
Bapak Raden Yuventinus Soeharman adalah tokoh awam yang sudah bergabung di Paroki
Santo Yoseph Denpasar sejak tahun 1962. Mengikuti perayaan ekaristi pertama
kali di Gereja Santo Yoseph Kepundung pada misa pagi Natal 25 Desember 1962.
Tanggal 8 Desember 1968 bersama
beberapa umat membentuk komunitas Sektor Santa Bernadette yang tetap kokoh berdiri sampai saat ini.
Ia mengenal Pater Servas
sejak Mei 1976 saat ada pergantian Pastor Paroki dari Pater
Paulus Boli Lamak kepada Pater Servasius yang baru pulang dari Yogyakarta. Ia
imam muda yang gesit dengan tubuh yang tegap atletis. Saat bertemu pertama
dengan Pater Servas kesannya adalah
orangnya ramah namun kokoh dalam
memegang prinsip. Pater Servas orangnya
sangat terbuka, mengatakan apa adanya
jika ia tidak suka terhadap sesuatu
dan ia juga akan mendengar bila ada
masukan dari umat yang masuk akal.
Pater Servas adalah perintis sejumlah paroki khususnya di Bali Timur. Waktu tahun
1962 saya datang ke Bali hanya ada Paroki Santo Yoseph di Kota
Denpasar. Di Badung ada paroki Tuka,
Tangeb, Babakan dan Kolibul. Pater Servas “merasul” di seluruh kota Denpasar
sampai Kuta, Nusa Dua dan Tanjung Benoa, Gianyar, Klungkung dan Karangasem.
Berkat keuletan Pater Servas maka
lahirlah paroki-paroki Monang Maning, Katedral, Paroki Kuta, Paroki Gianyar,
Stasi Klungkung dan Amlapura.
Sejak 1976 sampai
sekarang saya sungguh mengikuti perjalanan imamat Pater
Servas yang terus melayani umat. Bersama Dewan Paroki ia
beberapa kali berinisiatif merenovasi Gereja Kepundung. Ia juga menjadi
pelopor pembangunan Gereja Yesus Gembala
Yang Baik Ubung dan kini sedang
menyelesaikan pembangunan Griya Bhakti Pastoral. Dalam pandangan saya, Pater
Servas itu seorang pembangun iman umat
sekaligus membangun fasilitas untuk mendukung
hidup iman umat. Dari lubuk hati yang tulus saya ucapkan terima
kasih atas pengabdian Pater Servas.
Selamat merayakan 50 Tahun Imamat.
Yohanes I Wayan
Tantra
Yohanes I Wayan Tantra lahir
di Tuka 10 September 1938
dari pasangan bapak I Raneng dan
ibu Ni Rinti. Saat ini ia berdomisili di Kota Amlapura Kabupaten Karangasem dan
tercatat sebagai tokoh umat di Stasi St.
Fransiskus Amlapura.
Ia sekelas dengan
Pater Servas saat belajar di SMP Seminari Roh Kudus sebagai angkatan pertama di Tangeb tahun
1953 sampai 1956. Selanjutnya satu
angkatan pula dengan Pater Servas saat belajar di Seminari Petrus Canisius
Mertoyudan Magelang Jawa Tengah tahun
1956 sampai 1961.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas di
Mertoyudan Yohanes I Wayan Tantra bersama-sama
Servasius I Nyoman Rongsong, Paulus I Made Tirta, Alexiux I Sentur
Widjana dan Fidelis I Made Pondal Nirdjaja diterima di Novisiat SVD Ledalero
tahun 1961 sampai 1963. Ia belajar Filsafat di Ledalero tahun 1963 sampai 1965
dan selama dua tahun menjalankan tahun orientasi pastoral. Tahun 1967 sampai
1969 belajar teologi namun memasuki
tahun ketiga teologi
ia mengundurkan diri.
Berikut ini pria yang akrab disapa John Tantra ini
menuturkan pengalaman kebersamaannya dengan Pater Servas Subhaga, SVD. Waktu
duduk di kelas I SMP Seminari di Tangeb saya sekelas dengan Pater Servas yang
dipulangkan dari Seminari Mataloko Flores. Demikian juga waktu belajar di
Seminari Mertoyudan Magelang Jawa Tengah
kami harus mulai lagi dari Kelas III lalu menyelesaikan pendidikan pada
kelas VII.
Setelah dipastikan diterima di Novisiat SVD Ledalero
Flores kami berlima pun berangkat ke Flores melalui Surabaya. Seingat saya kami
menumpang Kapal Ratu Rosari. Kami berlima itu adalah saya sendiri, Servasius I
Nyoman Rongsong, Paulus I Made Tirta, Alexiux I Sentur Widjana dan Fidelis I
Made Pondal Nirdjaja. Kami mengikuti tahun novisiat SVD selama tiga tahun dari
1962 sampai 1963 lalu belajar filsafat tahun 1963 sampai 1965. Fidelis keluar
dari SVD pada tahun kedua dan pindah ke Ritapiret. Jadi yang bertahan di SVD
sampai belajar teologi kami berempat saja.
Pater Servas tidak
menjalankan Tahun Orientasi Pastoral sehingga ketika saya kembali ke Ledalero
pada tahun 1967 ia sudah belajar teologi
di tahun kedua. Selama di Ledalero kami
tiga kali berlibur. Biasanya selalu
bersama-sama menumpang kapal dan
perjalanan laut memakan waktu satu minggu.
Selama pergaulan saya dengan
Pater Servas sejak di Seminari Tuka,
Seminari Mertoyudan dan Ledalero, kesan saya pada sosok Pater Servas adalah
dia orangnya serius, punya komitmen dan
berkemauan kuat. Ia juga sangat memegang prinsip sehingga kalau ia merasa prinsipnya benar maka ia akan mempertahankannya.
Di masa ia sebagai
imam muda dan menjadi Pastor Paroki Santo Yoseph, Pater Servas sangat sering
melakukan kunjungan ke stasi-stasi khususnya
di Gianyar, Klungkung, Bangli dan Karangasem. Di Amlapura, saya
mengalami kunjungan Pater Servas sejak 1978 saat saya bekerja di Foster Parent dan menetap di Amlapura. Waktu itu belum ada
gereja dan pastoran. Kebetulan istri saya adalah bidan di Puskesmas Perasi dan
mendapat fasilitas tempat tinggal. Jadi setiap berkunjung ke Amlapura Pater Servas merayakan misa di Puskesmas
Perasi. Saat itu umat katolik sekitar 10
orang.
Saya turut bergembira karena Pater Servas bisa merayakan
50 tahun imamatnya. Peristiwa ini merupakan bukti betapa Pater Servas
setia pada jalan panggilan imamatnya.
Saya turut bangga karena Pater Servas
adalah orang Bali pertama yang ditahbiskan sebagai imam. Kesetiaannya
pada panggilan imamatnya itu adalah
bukti kuat bahwa Pater Servas itu sangat memegang teguh komitmen dan pilihan
hidupnya. Pater Servas, sebagai teman saya
ucapkan selamat berbahagia merayakan imamat emas 50 tahun. Saya pun ikut
bersyukur.***
Bonefasius Boli Hada
Bapak Bonefasius Boli Hada
lahir di Adonara Flores Timur 17 Oktober
1941 dan menyelesaikan pendidikan di SGA
Podor Larantuka tahun 1961. Sempat mengajar di SDK Swastiastu 1 Denpasar beberapa bulan tahun 1961 lalu Januari
1962 mengikuti pendidikan katekis
tentara di Semarang. Setelah bertugas di
Pusroh Katolik TNI Angkatan Darat di
Jakarta dan penugasan di beberapa tempat
tahun 1966 mulai bertugas di Pusroh Katolik
Kodam XVI/Udayana yang sekarang menjadi Kodam IX/Udayana.
Dalam rangka Pesta Emas
Imamat Pater Servas Subhaga,SVD, berikut ini penuturan bapak Bone Boli Hada. Pada
tahun 1966 itu Pastor Paroki Santo Yoseph adalah Pater Heijne,SVD. Sedangkan
pastor tentara adalah Letkol Tituler Dr. Herman Embuiru SVD dan wakilnya Lettu Hendrik Laban. Wilayah Paroki Santo
Yoseph mencakup Kuta sampai Nusa Dua dan Tanjung Benoa, Monang Maning, Gianyar,
Klungkung, Bangli dan Karangasem. Saya aktif di Paroki Santo Yoseph sejak dituaskan sebagai tentara di Pusroh
Katolik Udayana. Setelah Pater Heijni, SVD pindah ke Surabaya beliau diganti
oleh Pater Paulus Boli Lamat sampai
tahun 1976.
Yang saya ingat dari sosok
Pater Servas adalah peristiwa tahbisannya yang sangat meriah di Gereja Roh
Kudus Babakan tanggal 9 Juli 1969. Peristiwa yang mendapat perhatian dari para pejabat
di Bali. Ketua Umum Panitia tahbisan, seingat saya adalah bapak Piet
Puryatma yang waktu itu adalah frater
yang sedang menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Tuka. Wakilnya bapak Kapten Yohanes Maria Cokorda Oka
Sudarsana. Beliau ini benar-benar bekerja
dan semua terasa beres di bawah koordinasi bapak Cokorda.
Kebersamaan saya dengan
Pater Servas adalah mulai beliau
ditunjuk menjadi Pastor Paroki Santo Yoseph Denpasar. Sebagai imam muda ia
harus mengunjungi umat yang tinggal secara sporadis di Kuta, Nusa Dua dan
Tanjung Benoa. Ia juga mengunjungi umat di Gianyar, Klungkung dan Karangasem.
Pater Servas sangat penuh semangat dan
penuh perhatian mengunjungi umat. Bagi
saya, itu kelebihan Pater Servas. Ia benar sosok imam yang mesioner, mewartakan
Injil dengan berkunjung ke tempat umat berada. Peran Pater Servas terhadap
berdirinya paroki baru seperti Paroki Kuta, Monang Maning, Gianyar,
Klungkung dan Karangasem sangat besar.
Saya juga mengenal Pater
Servas sangat berpegang teguh pada
prinsip hidupnya. Yang ia rasa benar akan ia pertahankan. Jika salah, ia akan
mengakui bahwa salah. Ia juga punya
komitmen yang tinggi. Semangat merasulnya
sangat tampak dalam semua karya
pastoral yang telah dijalankannya selama
bertugas di Paroki Santo Yoseph dari tahun 1976 sampai sekarang. Jika ia bisa merayakan Emas
Imamat, itu sungguh rahmat Tuhan. Saya, sebagai umat yang pernah aktif di Dewan
Paroki Santo Yoseph turut bangga dan bersyukur. Saya ucapkan selamat
merayakan ulang tahun ke-50 tahbisan
imam.***
Marsel Jemalit
Marsel Jemalit lahir di
Manggarai Flores 26 September 1959
dan mulai tinggal di Kota Denpasar sejak
tahun 1981. Aktif di Dewan Pastoral
Paroki Santo Yoseph brtsesl sebagai Pengurus Lingkungan St. Maria Regina
tahun 1992. Pada tahun 2004 dipercayakan
sebagai Ketua Dewan Pastoral Paroki
sampai dengan tahun 2016. Selama memangku kepercayaan sebagai Ketua DPP,
kerja sama yang fenomenal adalah
merencanakan dan merealisasikan
pembangun Gereja Yesus Gembala Yang Baik Ubung dan Griya Bhakti Pastoral.
Terkait dengan pesta syukur
50 Tahun tahbisan imamat Pater Servas, berikut ini kesan-kesan Marsel terhadap
sosok imam pertama Keuskupan Denpasar ini. Kesan saya pada sosok pater Servas, dia adalah salah satu
imam yang visioner, memikirkan Gereja masa depan, dan ingin mewariskan hal yang
berharga bagi anak cucu di masa depan. Ia memikirkan pengembangan Gereja dengan istilah pembangunan Gereja “Nyatur Desa atau empat
penjuru territorial timur, barat, utara
dan selatan. Ia bahkan sudah mencari tanah sampai di Petang. Di wilayah timur,
tanahnya sudah ada yakni di
Br. Ketewel.
Pater Servas itu adalah fondator untuk pengembangan gereja katolik yang berakar kuat pada nilai budaya,
inkulturatif dan sarat dengan muatan kearifan local. Pater Servas sangat
berpegang teguh pada prinsipnya. Namun
ia juga mendengarkan masukan yang
baik. Saya sering memberikan masukan padanya dan ia mendengarkan terutama dalam
hal pembagian tugas, apa tugas yang
harus dikerjakan DPP dana pa yang menjadi domain Pastor Paroki.
Pater Servas itu sangat taat
pada panggilan hidupnya. Tentu ia tetaplah manusia yang tak luput dari kelemahan tetapi saya
paling pahami, beliau juga manusia yang
lemah seperti kita yang lain. Harapan
saya, di hari tuanya, semoga ia menjadi inspiring bagi kita semua dan semoga hbcpesannya bahwa Gereja Santo Yoseph Kepundung dan
Gereja Yesus Gembala Yang Baik Ubung tetap menjadi satu bagian yang tak
terpisahkan menjadi kenyataan. Meskipun akhirnya hanya waktu yang menentukan.
Pencapaian usia imamat Pater
Servas yang sampai 50 tahun pantas dirayakan dan menyukuri pencapaian ini. Ini
bukti bahwa Tuhan telah bekerja pada diri Pater Servas sehingga memampukan
dirinya menerima panggilan yang luhur ini.
Pater Servas diutus untuk kita para umat. Terima kasih pater Servas atas
dedikasi dan keberanian menjawab panggilan
Tuhan menjadi imam yang menerima perutusan ke Paroki Santo Yoseph Denpasar dan
Keuskupan Denpasar umumnya. Hormat dan terima kasih kita pernah “Berjalan Bersama” menurut tugas dan tanggung jawab kita
masing-masing. Selamat merayakan Imamat Emas Pater. Terima kasih dan
syukur kepada Tuhan.***
Aron Meko Mbete
Prof.Dr. Aron Meko Mbete lahir di Wolosoko
Wolowaru Ende 23 Juli 1943. Ia
menginjakkan kaki pertama kali di pelabuhan Benoa pada 27 Januari 1967.
Dan sejak itu ia menjadi warga Kota Denpasar dan warga Paroki Santo Yoseph
Denpasar. Ia menuturkan waktu itu Paroki
Santo Yoseph membawahi wilayah hampir di seluruh Bali Timur.
Saat mulai aktif di Paroki St.
Yoseph tahun 1967 pastor parokinya
adalah Pater J. Heijne,
SVD yang bertugas sejak tahun 1949.
Sebagai orang muda Aron bertugas sebagai juru parkir sepeda milik umat saat
misa Minggu pagi.
Dalam
perjalanan waktu Aron pun aktif di Pemuda Katolik, PMKRI, Legio Maria dan
kelompok koor. Bahkan di masa kegembalaan Pater Heijne dan Pater Paulus Boli
Lamat (1970-1976) Aron adalah organis
andalan. Pada 24 Mei 1976 terjadi serah terima pastor paroki St. Yoseph
Kepundung dari Pater Paulus Boli Lamak ke pastor Drs. Servatius Subhaga,SVD.
Tentang kebersamaan dengan Pater Servas
berikut ini penuturan Aron Meko Mbete.
Saya
mengenal Pater Servas sejak ia ditahbiskan
menjadi imam pada 9 Juli 1969. Waktu itu saya sedang kuliah di Fakultas Sastra
Unud sambil mengajar di SD Kartika milik
Angkatan Darat. Sebelumnya tahun 1967 sampai 1968 saya mengajar di SDK
Swastiastu. Seingat saya tahbisan Pater Servas di Babakan itu sangat meriah
karena merupakan peristiwa pertama kali di Bali. Saya semakin mengenal Pater
Servas setelah ia menjadi pastor paroki Santo Yoseph sejak 1976 dan sampai saat ini.
Pater
Servas itu pribadi yang punya komitmen
tinggi terhadap panggilan hidupnya
sebagai imam. Pelayanannya sebagai imam dijalankannya dengan serius. Ia sangat
missioner dan visioner. Banyak sekali terjadi baptisan baru dewasa saat natal
dan paskah. Ini bukti bahwa pater Servas
sungguh missioner. Ia benar-benar sangat bersemangat melakukan kunjungan
ke umat dan merayakan ekaristi di mana saja ia diminta.
Pater
Servas merintis berdirinya beberapa
paroki baru misalnya Paroki Fransiskus
Xaverius Kuta, paroki St. Petrus Monang Maning, Paroki Katedral, Paroki
Gianyar, Stasi Klungkung dan Stasi Karangasem. Pater Servas secara rutin
mengunjungi umat di Gianyar, Klungkung
dan Karangasem untuk merayakan ekaristi. Saya harus mengakui bahwa kotbah Pater
Servas itu sangat kateketis. Penghayatan
imannya dan imamatnya lewat perayaan ekaristi sangat mendalam. Pelayanannya
kepada umat puluhan tahun penuh semangat.
Saya
dengan Pater Servas cukup dekat. Yang mendekatkan saya dengannya adalah organ.
Sebab setiap misa sayalah yang organis.
Saya mengenal pater Servas sebagai
seniman dan budayawan. Ada beberapa tarian yang lahir dari idenya yakni tarian Yesus Gembala Yang Baik,
Magnificat dan Pamujih Maria. Tarian Yesus Gembala Yang Baik dan Magnificat
dipentaskan di Pesta Kesenian Bali beberapa tahun lalu. Penari yang berperan
sebagai Yesus adalah penari Bali yang
Hindu. Hubungan baik Pater Servas dengan para seniman hindu dibangunnya dengan
sangat baik dan harmonis.
Pater
Servas saat merayakan ekaristi sangat sakral. Ia juga memasukkan seni dan
budaya ke dalam tata liturgy. Inkulturasi dalam liturgy menjadi perhatiannya.
Ia sungguh-sungguh mengkarkan budaya Bali dalam Gereja Katolik di Paroki
Kepundung. Maka tidaklah mengherankan jika bangunan Gereja Yesus Gembvala Yang
Baik menjadi karya besar Pater Servas yang sangat sarat dengan symbol-simbol
budaya Bali. Karena itu menurut saya, para imam muda harus belajar dari Pater Servas terutama bagaimana ia memadukan Injil dan budaya Bali. Sebab ia
membuka ruang dialog kultural Bali
sehingga iman berakar dan membumi
di Bali.
Secara
khusus saya mengucapkan syukur atas 50 tahun imamat Pater Servas. Usia imamate
mas yang dicapai oleh pater Servas
kiranya menjadi ungkapan
iman bagi kita semua dan menjadi komitmen baru bagi generasi penerus gereja untuk membumikan firman melalui budaya Bali.
Sehingga Gereja Bali adalah benar-benar Gereja Kristen Katolik Bali, bukan
Gereja Kristen Katolik di Bali. Selamat
merayakan 50 tahun imamat Pater Servas.
Terima kasih karena Pater telah membuat iman saya semakin diteguhkan melalui
kotbah dan pendampingan selama ini.***
Komentar
Posting Komentar