Media, Pendidikan Nilai dan Peran Pemerintah
Ada dua nara sumber yang juga dihadirkan dalam panel diskusi ini. Seorang tokoh muda Herman Umbu Billy yang adalah Ketua Komda Pemuda Katolik Bali dan Owner Sumba TV. Yang lainnya adalah Pembimas Katolik Kanwil Kementrian Agama Provinsi Bali Drs. Lodovikus Lena. Herman Umbu Billy membawakan materi ‘Peran media dalam pendidikan nilai bagi warga masyarakat seiring perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya. Sedangkan Lodovikus Lena membawakan materi Tanggapan dan pandangan pemerintah terhadap potensi berita palsu dan isu intoleransi agama di media sosial.
Herman Umbu Billy mengajak semua pihak untuk berbuat sesuatu yang positif dalam menanggapi perkembangan digital yang semakin tak terbendung. Apa yang bisa dibuat secara konkret dalam perkembangan digital ini? Bagaimana caranya? Sudahkah kita melakukannya? Apa yang kita pilih, berita palsu atau jurnalisme perdamaian? Pertanyaan ini perlu mendapat perhatian dari mereka yang gemar di media sosial. Ia menegaskan seharusnya media sosial dimanfaatkan seluasnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. “Sudah ada contohnya, seperti konten-konten positif (oleh OMK Katedral). Konten positif ini harus memperhatikan sasarannya. Membangun konten positif yang disinergikan dengan teknologi dapat tersebar luas dan dilihat banyak orang”, ujarnya.
Dikatakannya media terbesar di Indonesia kini adalah media sosial – Facebook. Teori disruption terjadi dalam media digital masa kini. Sebagai masyarakat, kita harus peka dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi. Contoh: Sumba TV - menunjukkan kehidupan di pedesaan dan kampung sehingga kita bisa bangga dengan peninggalan leluhur. Radikalisme dapat dilawan dengan mengangkat kembali nilai-nilai adat kita.
Sementara itu Pembimas Katolik Kanwil Agama Provinsi Bali Drs. Lodovikus Lena mengatakan pengguna internet paling banyak berusia 19 sampai 32 tahun atau generasi milenial. Informasi palsu (hoax), provokasi, fitnah, ujaran kebencian dan sikap intoleransi bahkan anti pancasila berpotensi memecahbelahkan bangsa, mengancam persatuan dan kesatuan, mengancam semangat kebhinekaan, merusak demokrasi , merusak harmoni masyarakat. Kecenderungan itu bertolak belakang dengan karakter bangsa Indonesia yang relatif terbuka, yang cinta damai dan menerima setiap bentuk perbedaan.
Untuk itu Pemerintah tidak bisa berdiam diri menghadapi kecenderungan yang demikian. Tugas Pemerintah adalah memelihara kerukunan, menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga NKRI artinya jangan sampai masyarakat kita berantem satu sama lain karena penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, perbedaan pandangan, berbeda aliran antar agama, aliran di didalam satu agama. Pemerintahan Presiden Jokowi tidak akan pernah kalah dengan penyebaran hoax dan isu toleransi agama yang saat ini masih masif terjadi. Pemerintah terus melakukan upaya untuk memberantas informasi hoax dan isu intoleransi agama.***
Herman Umbu Billy mengajak semua pihak untuk berbuat sesuatu yang positif dalam menanggapi perkembangan digital yang semakin tak terbendung. Apa yang bisa dibuat secara konkret dalam perkembangan digital ini? Bagaimana caranya? Sudahkah kita melakukannya? Apa yang kita pilih, berita palsu atau jurnalisme perdamaian? Pertanyaan ini perlu mendapat perhatian dari mereka yang gemar di media sosial. Ia menegaskan seharusnya media sosial dimanfaatkan seluasnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. “Sudah ada contohnya, seperti konten-konten positif (oleh OMK Katedral). Konten positif ini harus memperhatikan sasarannya. Membangun konten positif yang disinergikan dengan teknologi dapat tersebar luas dan dilihat banyak orang”, ujarnya.
Dikatakannya media terbesar di Indonesia kini adalah media sosial – Facebook. Teori disruption terjadi dalam media digital masa kini. Sebagai masyarakat, kita harus peka dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi. Contoh: Sumba TV - menunjukkan kehidupan di pedesaan dan kampung sehingga kita bisa bangga dengan peninggalan leluhur. Radikalisme dapat dilawan dengan mengangkat kembali nilai-nilai adat kita.
Sementara itu Pembimas Katolik Kanwil Agama Provinsi Bali Drs. Lodovikus Lena mengatakan pengguna internet paling banyak berusia 19 sampai 32 tahun atau generasi milenial. Informasi palsu (hoax), provokasi, fitnah, ujaran kebencian dan sikap intoleransi bahkan anti pancasila berpotensi memecahbelahkan bangsa, mengancam persatuan dan kesatuan, mengancam semangat kebhinekaan, merusak demokrasi , merusak harmoni masyarakat. Kecenderungan itu bertolak belakang dengan karakter bangsa Indonesia yang relatif terbuka, yang cinta damai dan menerima setiap bentuk perbedaan.
Untuk itu Pemerintah tidak bisa berdiam diri menghadapi kecenderungan yang demikian. Tugas Pemerintah adalah memelihara kerukunan, menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga NKRI artinya jangan sampai masyarakat kita berantem satu sama lain karena penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, perbedaan pandangan, berbeda aliran antar agama, aliran di didalam satu agama. Pemerintahan Presiden Jokowi tidak akan pernah kalah dengan penyebaran hoax dan isu toleransi agama yang saat ini masih masif terjadi. Pemerintah terus melakukan upaya untuk memberantas informasi hoax dan isu intoleransi agama.***
Komentar
Posting Komentar