Puasa Medsos
SAAT INI kita sudah memasuki masa Prapaskah. Pada masa ini, kita diingatkan untuk menjalani puasa dan pantang. Gereja biasanya akan mengumumkan peraturan puasa dan pantang. Sejumlah pantang itu adalah pantang daging, pantang garam, pantang jajan, dan yang lain.
Pertanyaannya, apakah mungkin jika kita mengusulkan suatu item baru untuk pantang? Saya pribadi, dalam beberapa tahun terakhir memilih jenis pantang lain, yang agak berbeda, yaitu pantang mendengarkan musik. Anda mungkin tertawa. Tak apa. Tapi buat saya, sehari tidak mendengarkan musik, baik lewat radio, perangkat pemutar musik lainnya, itu adalah siksaan berat sekali. Enam kali setiap hari Jumat, dilewati dengan tidak mendengarkan musik adalah suatu cobaan yang lumayan berat.
Tapi saat ini, saya justru ingin mengusulkan suatu pantang, atau bahkan aksi puasa lain yang mungkin justru sangat berguna dan kontekstual untuk masa sekarang di Indonesia. Saya mengusulkan, kita berpuasa atau berpantang media sosial. Mengapa saya usulkan ini?
Sekarang, hampir semua orang yang tinggal di perkotaan, baik itu pelajar, mahasiswa, dewasa hingga orang berusia matang, tak dapat melepaskan diri dari media sosial, apakah itu Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp. Beranikah kita melakukan hal itu? Terus terang, saya sendiri belum bisa, karena sebagian dari urusan media sosial saya adalah urusan terkait dengan pekerjaan. Izinkan saya untuk menjelaskan lebih jauh mengapa saya usulkan hal tersebut.
Media sosial yang kita pergunakan memang memerlukan kebijakan dalam mengonsumsinya. Tak cermat pada saat mengonsumsi, kita akan jatuh pada keterpurukan. Kita mengenal fenomena hoax belakangan ini, yang mudah sekali menyebar tanpa penerima dan penyebarnya sadar. Kita yang tergopoh-gopoh menerima suatu postingan yang belum jelas, seringkali mudah menyebarkan lagi ke berbagai grup atau media sosial lainnya, tanpa memeriksa kebenaran postingan tersebut. Dan diakui atau tidak, paska Pilkada DKI Jakarta kemarin, banyak anggota masyarakat jadi terbelah, yang salah satunya disebabkan oleh media sosial.
Banyak dari kita merasa ingin “paling update” dengan menjadi orang pertama yang memposting suatu informasi. Padahal, kita pun menerimanya dari tempat lain. “Dari sebelah”, begitu kita sering berkilah. Atau kadang kita memposting sembari menuliskan, “Apa benar ga sih berita di bawah ini?” Tetapi toh kita tetap memposting sesuatu yang meragukan tersebut.
Dalam satu hari, jika diingat-ingat, kita akan berhadapan dengan berbagai macam isu yang berbeda-beda dari jam ke jam, atau bahkan dari menit ke menit. Terkadang, saya pun lelah mengikuti segala postingan. Kerapkali, di antara ratusan atau bahkan ribuan posting yang ada, hoax (berita palsu, berita bohong) menyelinap di dalamnya. Bisa seolah rujukan dari suatu media online tertentu, blog seseorang, ataupun seseorang yang mengaku-aku menjadi seorang tokoh.
Memang tidak mudah memegang mana yang benar di tengah kepungan informasi yang meluap-luap ini. Kita seolah perahu kecil, yang terombang-ambing di antara ombak-ombak besar arus informasi. Kita harus tetap berkonsentrasi untuk mengendalikan perahu kecil ini, supaya bisa mencapai tujuan. Maka, kita harus tetap jelas memegang arah tujuan dan perlahan-lahan menghadapi badai, atau arus informasi dengan penuh ketenangan. Oleh karena itu, perahu di laut pasti memiliki kompas atau alat penunjuk arah lain, agar kita terus sadar ke mana arah perahu tersebut.
Kepanikan ataupun ketergesaan adalah pintu masuk mudah untuk berita bohong, Dalam kepanikan, kita cendrung lupa berpikir jernih dan sederhana : “Apa iya hal itu bisa terjadi?” “Apakah mungkin si tokoh ini melakukan hal tersebut?” dan seterusnya.
Apa esensi pantang dan puasa? Menurut saya, adalah soal pengendalian diri dan juga memaksa kita memilih sesuatu yang betul-betul paling penting bagi diri kita. Dengan cara ini, kita bisa menyisir mana informasi yang betul kita butuhkan, dan mana yang sekedar memuaskan rasa ingin tahu. Dengan berpuasa atau pantang, kita pun sedikit mengurangi pemuasan rasa ingin tahu dan berfokus pada hal yang memang betul-betul kita perlukan. Jadi, mungkin saja puasa medsos bisa dipertimbangkan untuk masa puasa saat ini.***
(oleh Ignatius Haryanto : Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dalam majalah HIDUP No 08 25 Pebruari 2018, hal 50)
Komentar
Posting Komentar