Merayakan Kebangsaan Dalam Liturgi
Akhir-akhir ini, pemerintah dan masyarakat Indonesia merasa cemas terhadap persatuan bangsa. Kita cemas, karena perilaku intoleran semakin marak. Apalagi perilaku tersebut tidak lagi dilihat sebagai pelanggaran atas hukum yang berlaku, tapi dilihat sebagai cara yang baik untuk mencapai maksud yang diinginkan.
Menghadapi kenyataan itu, pemerintah melalui Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila ingin membangkitkan lagi kesadaran akan semangat para pendiri bangsa, agar kita semakin mencintai persatuan, memelihara keutuhan bangsa, dan makin berperikemanusiaan dalam bersikap. Gereja Katolik di Indonesia sebagai bagian dari bangsa ini tentu tak melepaskan diri dari usaha pemerintah itu. Gereja menggerakkan rasa kebangsaan pada umat beriman dalam berbagai bidang pelayanan, termasuk liturgi.
Rasa kebangsaan atau mencintai tanah air pada umat beriman Katolik diungkapkan dalam perayaan liturgi. Gereja Katolik di Indonesia menetapkan 17 Agustus sebagai Hari Raya Liturgi karena peristiwa tersebut sungguh penting bagi bangsa Indonesia.
Gereja memandang hari Kemerdekaan Indonesia adalah karya Allah. “Engkaulah yang mengantar kami kepada kemerdekaan yang aman sentosa” (Doa sesudah Komuni). Anugerah ini adalah cara Allah bagi kita untuk mencapai kesejahteraan.
Maka, peristiwa itu patut disyukuri oleh umat dengan perayaan liturgi. Sedemikian penting hari kemerdekaan bagi kita, maka perayaan bersifat Hari Raya dan diutamakan dari yang lain. Kita, bahkan memindahkannya pada hari Minggu dengan maksud agar semakin banyak umat merayakannya. Kita menempatkan hari Kemerdekaan Indonesia pada tingkat yang lebih tinggi dalam perayaan liturgi.
Gereja telah menentukan doa-doa, bacaan-bacaan, dan warna liturgi untuk Hari Raya Kemerdekaan Indonesia dan sangat mengharapkan agar kita menggunakan nyanyian-nyanyian yang sudah mendapat “nihil obstat” dan “imprimatur”. Kita bergembira bahwa selama ini, kita merayakan Hari Raya Kemerdekaan sesuai dengan maksud atau petunjuk Gereja. Hanya di beberapa tempat, cara merayakan sering membingungkan karena memasukkan beberapa unsur, seperti pengibaran bendera Merah Putih dalam perayaan Ekaristi atau nyanyian “Hymne Pahlawan” menggantikan “Tuhan kasihanilah”. Ingatlah, perayaan liturgi selalu diarahkan kepada Tuhan.
Dalam Doa Pembuka pada Hari Raya Kemerdekaan ini, Gereja sadar akan panggilan menuju kemerdekaan sejati. Keyakinan Gereja ini tidak saja diungkapkan dalam Doa Pembuka, tapi juga dalam tanggapan Gereja terhadap Firman Tuhan yang diwartakan dalam Bacaan Pertama : “Kamu dipanggil untuk kemerdekaan….” (Mazmur Tanggapan). Karena kesadaran itu, Gereja memohon : “Tuhan lindungilah tanah air kami, agar tetap bebas merdeka dan aman sentosa” (Doa Pembuka).
Rasa kebangsaan umat beriman tak hanya diwujudkan dalam bentuk doa, tapi juga dalam bentuk wejangan atau nasehat. Salah satu wejangan Gereja berdasarkan Kitab Putra Sirakh dalam bacaan pertama adalah bahwa kemerdekaan akan tetap bertahan kalau masyarakat dan terlebih penguasa, menjamin ketertiban. Sebaliknya, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, nafsu kuasa dan nafsu uang, merupakan tindakan yang sangat memungkinkan hilangnya kemerdekaan.
Gereja juga mengharapkan agar umat menyampaikan wejangan itu kepada masyarakat luas melalui berbagai cara, entah lisan, seminar atau tulisan, media sosial, dan lainnya agar makin banyak masyarakat diresapi unsur-unsur tersebut (bdk Lumen Gentium art 35). Gereja telah menyediakan perayaan liturgi khusus bagi kita untuk bersama-sama mendoakan bangsa ini, dan mengajak kita menyuarakan pentingnya tertib hidup dan membangun tanah air dengan tindakan nyata.
Kita semua boleh mulai menikmati kemerdekaan sejati, yakni sukacita dan damai. “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal 5:13)
(Oleh Romo Yohanes Rusae : Dosen STIPAS Keuskupan Agung Kupang dalam HIDUP No 09, 4 Maret 2018, hal 50)
Menghadapi kenyataan itu, pemerintah melalui Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila ingin membangkitkan lagi kesadaran akan semangat para pendiri bangsa, agar kita semakin mencintai persatuan, memelihara keutuhan bangsa, dan makin berperikemanusiaan dalam bersikap. Gereja Katolik di Indonesia sebagai bagian dari bangsa ini tentu tak melepaskan diri dari usaha pemerintah itu. Gereja menggerakkan rasa kebangsaan pada umat beriman dalam berbagai bidang pelayanan, termasuk liturgi.
Rasa kebangsaan atau mencintai tanah air pada umat beriman Katolik diungkapkan dalam perayaan liturgi. Gereja Katolik di Indonesia menetapkan 17 Agustus sebagai Hari Raya Liturgi karena peristiwa tersebut sungguh penting bagi bangsa Indonesia.
Gereja memandang hari Kemerdekaan Indonesia adalah karya Allah. “Engkaulah yang mengantar kami kepada kemerdekaan yang aman sentosa” (Doa sesudah Komuni). Anugerah ini adalah cara Allah bagi kita untuk mencapai kesejahteraan.
Maka, peristiwa itu patut disyukuri oleh umat dengan perayaan liturgi. Sedemikian penting hari kemerdekaan bagi kita, maka perayaan bersifat Hari Raya dan diutamakan dari yang lain. Kita, bahkan memindahkannya pada hari Minggu dengan maksud agar semakin banyak umat merayakannya. Kita menempatkan hari Kemerdekaan Indonesia pada tingkat yang lebih tinggi dalam perayaan liturgi.
Gereja telah menentukan doa-doa, bacaan-bacaan, dan warna liturgi untuk Hari Raya Kemerdekaan Indonesia dan sangat mengharapkan agar kita menggunakan nyanyian-nyanyian yang sudah mendapat “nihil obstat” dan “imprimatur”. Kita bergembira bahwa selama ini, kita merayakan Hari Raya Kemerdekaan sesuai dengan maksud atau petunjuk Gereja. Hanya di beberapa tempat, cara merayakan sering membingungkan karena memasukkan beberapa unsur, seperti pengibaran bendera Merah Putih dalam perayaan Ekaristi atau nyanyian “Hymne Pahlawan” menggantikan “Tuhan kasihanilah”. Ingatlah, perayaan liturgi selalu diarahkan kepada Tuhan.
Dalam Doa Pembuka pada Hari Raya Kemerdekaan ini, Gereja sadar akan panggilan menuju kemerdekaan sejati. Keyakinan Gereja ini tidak saja diungkapkan dalam Doa Pembuka, tapi juga dalam tanggapan Gereja terhadap Firman Tuhan yang diwartakan dalam Bacaan Pertama : “Kamu dipanggil untuk kemerdekaan….” (Mazmur Tanggapan). Karena kesadaran itu, Gereja memohon : “Tuhan lindungilah tanah air kami, agar tetap bebas merdeka dan aman sentosa” (Doa Pembuka).
Rasa kebangsaan umat beriman tak hanya diwujudkan dalam bentuk doa, tapi juga dalam bentuk wejangan atau nasehat. Salah satu wejangan Gereja berdasarkan Kitab Putra Sirakh dalam bacaan pertama adalah bahwa kemerdekaan akan tetap bertahan kalau masyarakat dan terlebih penguasa, menjamin ketertiban. Sebaliknya, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, nafsu kuasa dan nafsu uang, merupakan tindakan yang sangat memungkinkan hilangnya kemerdekaan.
Gereja juga mengharapkan agar umat menyampaikan wejangan itu kepada masyarakat luas melalui berbagai cara, entah lisan, seminar atau tulisan, media sosial, dan lainnya agar makin banyak masyarakat diresapi unsur-unsur tersebut (bdk Lumen Gentium art 35). Gereja telah menyediakan perayaan liturgi khusus bagi kita untuk bersama-sama mendoakan bangsa ini, dan mengajak kita menyuarakan pentingnya tertib hidup dan membangun tanah air dengan tindakan nyata.
Kita semua boleh mulai menikmati kemerdekaan sejati, yakni sukacita dan damai. “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal 5:13)
(Oleh Romo Yohanes Rusae : Dosen STIPAS Keuskupan Agung Kupang dalam HIDUP No 09, 4 Maret 2018, hal 50)
Komentar
Posting Komentar