Mati Untuk Hidup

Bacaan Pertama (Yer 31:31-34) menubuatkan perjanjian baru yang ditulis bukan pada loh-loh batu tetapi dalam hati orang-orang yang percaya; yang berlaku bukan hanya bagi orang-orang Israel tetapi meluas melampaui batas-batas Israel, bahkan menjangkau semua orang. Inti perjanjian ini : “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku…. Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka”.

Mazmur Tanggapan (Mzm 51:3.4.12-15) mengajak umat menyadari dosa dan pelanggaran dan mohon pengampunan. Aku hamba durhaka………….mohon belas kasih-Mu……….bersihkan jiwaku……...leburlah segala dosaku.

Dalam Bacaan Kedua (Ibr 5:7-9), Yesus ditampilkan sebagai imam agung dan pengantara. Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan….dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan……..dan Ia menjadi pokok keselamatan abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.

Injil (Yoh 12:20-33) memaparkan pemahaman teologis Yohanes mengenai Yesus Kristus, khususnya mengenai sengsara dan wafat Yesus. Pembicaraan diantar dengan perumpamaan tentang biji gandum yang harus mati supaya menghasilkan buah; perumpamaan ini diterapkan begitu saja pada Yesus yang harus menderita dan mati untuk menarik semua orang kepada-Nya. Menyaksikan ketetapan hati Yesus untuk menerima salib, Yohanes melihat salib bukan sebagai alat penderitaan, tetapi sebagai tempat di mana kemuliaan Kristus akan dinyatakan. Kemuliaan yang disinggung pada awal Injil keempat ini (Yoh 1:14) akan digenapi dalam peristiwa penyaliban Yesus. Bagi Yohanes, salib bukan alat siksa, tetapi takhta mulia Sang Raja semesta; Ia naik takhta dengan mengenakan jubah ungu untuk menunjukkan kedudukan-Nya yang begitu mulia. Puncak pewahyuan mengenai siapa Yesus akan terjadi pada saat penyaliban. Yesus menyambut salib dengan sukarela. Pemahaman Yohanes ini tepat untuk meluruskan devosi umat yang cendrung mengurung Yesus yang tersalib dan memisahkannya dari kebangkitan, karena mereka tidak memiliki pemahaman yang positif terhadap penyaliban 

(dari “Panduan Liturgi
Hari Minggu dan Hari Raya Tahun B”, hal. 96-97)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Romo Agustinus Lie,CDD *)

Menjadi Gembala “Berbau” Domba

Paroki Maria Bunda segala Bangsa Nusa Dua