Di Telapak Kaki Ibuku

Gambar ilustrasi: Seorang anggota kopassus bersimpuh di kaki ibu

Cerpen: Agust GT

Aku tak bedanya dengan anak yang hilang. Anak bungsu yang dikisahkan oleh kitab suci yang meminta warisannya  lalu dijualnya dan uang digunakan  untuk berfoya-foya dengan pelacur di kota. Seperti itulah aku.Bedanya  jika anak yang hilang itu meminta kepada bapanya, aku kepada ibu yang telah lama hidup menjanda.Jika anak yang hilang itu pergi ke kota lain  sedang aku tetap di kota tempat tinggal ibuku.

Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulungku  ditahbiskan  menjadi imam. Dua kakak perempuanku memilih jalan  hidup membiara. Maka  yang tinggal di rumah  adalah aku. Sesungguhnya  aku  ingin pergi ke kota lain. Tetapi kakakku yang sulung  melarang. Katanya aku harus menjaga ibu karena ia sudah semakin sepuh.
“ Eh ade, kau tinggal di rumah. Lihat ibu  sudah tua. Kau jangan pergi merantau.” Kakak sulung yang pastor memberi nasihat.
“ Tapi  saya juga mau cari pengalaman di kota lain.”
“ Tidak usah. Di sini juga kota besar. Jogyakarta  ini  kota terkenal. Kau  tinggal saja di sini bersama ibu.” Kata kakak.
“ Yah, baik kakak.”

Aku menurut saja. Setelah menyelesaikan kuliah di sebuah sekolah seni  aku  sesungguhnya ingin ke Jakarta. Teman kelasku  yang berani ke Jakarta  berhasil menjadi artis terkenal. Pada hal aku tahu masa kuliah  dia bukan mahasiswi yang cerdas. Lagi pula  di Jogyakarta  lulusan perguruan tinggi seni kalau mengambil jurusan  salah  bisa menjadi penganggur. Seperti aku  yang mengambil jurusan sinematologi  akhirnya menganggur. Suatu hari aku bertemu dengan artis teman kelasku itu.
“ Mas Bertus  ayo ke Jakarta. Kamu bisa jadi bintang film sukses.”
“ Aku disuruh kakak-kakaku  menemani ibu.”
“ Ouhhh, anak mama banget. Kasihan deh loe.” Kata-kata yang sangat menampar. Kata-kata yang menyakitkan. Ingin rasanya  pergi ke Jakarta meninggalkan rumah dan meninggalkan ibu.
Tahun terus berganti. Aku menjadi sosok yang tanpa orientasi hidup. Aku seperti burung yang terbang dari satu dahan ke dahan lain tanpa keinginan membangun sarang. Aku pun tak memiliki pekerjaan tetap. Aku bergaul dengan anak-anak  yang sama denganku bahkan lebih parah. Mereka yang  putus sekolah dan dari keluarga yang hancur. Mereka yang residivis  keluar dari penjara  karena mencuri, merampok dan menjual narkoba.

Pergaulanku dengan  anak-anak  yang  tak punya orientasi hidup. Yang  saban hari  hanya minum minuman keras dan mengonsumsi  narkoba. Dan kalau tak ada lagi uang mereka  akan merampok bahkan tak segan membunuh. Bulu kudukku merinding kalau mendengar kisah mereka.
“ Kita harus selalu punya uang untuk beli arak dan narkoba  serta main perempuan.” Kata-kata  seorang teman yang tubuhnya kurus kerempeng.
“ Makanya  kau ikut kami. Dari pada hidup galau kita besenang-senang. Narkoba bisa buat kita happy.” Kata yang lain.

Aku sangat sadar bahwa  mencuri, merampok dan main perempuan apa lagi membunuh  melanggar perintah Tuhan. Jangan membunuh, jangan bersinah  adalah perintah Tuhan yang terhimpun dalam sepuluh perintah Tuhan. Di awal aku berkenalan dengan teman-teman brengsek itu  adalah ingin mengubah mereka menjadi orang baik. Aku mau menunjukkan identitasku sebagai orang katolik yang sangat taat pada ajaran kitab suci. Menunjukkan kepada mereka yang seiman maupun yang bukan seiman bahwa agama kami  terbaik.

Tapi lama kelamaan  aku semakin masuk dalam gaya hidup mereka. Masuk dalam kesenangan mereka. Masuk dalam dunia mereka. Perangaiku makin berubah. Aku jarang pulang ke rumah. Kalau pun pulang  aku  hanya  mau meminta uang pada ibu. Kalau ibu tak memberi  aku pasti  berkata kasar pada ibu. Atau mencuri perhiasan  ibu di lemari. Ibu benar-benar sedih  melihat perubahanku. Tetapi aku tak perduli.
“Bertus, mengapa kau jadi begini nak? Mengapa kau berubah. Ingatlah nak, apa yang kau lakukan itu dosa.”
“ Ah ibu diam. Aku ini tidak hidup pada jaman ibu muda dulu. Ini jaman modern. Hidup harus bebas.”
“ Sadarlah nak, sadar. Kakakmu itu pastor, saudari-saudarimu  suster.”
“ Itu urusan mereka. Hidup itu urusan masing-masing. Masuk surga juga urusan masing-masing.” Aku benar-benar melawan ibu. Aku tahu ibu menangis. Tapi hatiku sudah beku. Mataku  sudah buta. Aku tak perduli hati ibu yang hancur luluh.

Aku benar-benar berubah. Entah berapa perempuan yang sudah aku kencani. Aku  sudah benar-benar  madat rokok. Aku  menjadi sangat  tergantung pada minuman beralkohol. Dan  aku menjadi madat narkoba. Sehari saja aku tak pakai pasti  akan merasakan deraan yang luar biasa. Karna itu  setiap hari aku harus selalu mempunyai uang agar bisa membeli narkoba. Setiap aku membutuhkan uang  aku pulang ke rumah  memaksa ibu untuk memberiku uang. Perhiasan ibu  sudah habis kujual. Alat-alat rumah tangga pun kujual.
“ Bertus, lihat nak, lihat ibumu.”
“ Sudah ibu, jangan banyak bicara.”
“ Kau di jalan yang salah nak.”
“ Memangnya  aku pikiran?”  Jawabku. Aku tahu jawaban itu melukai hati ibu. Tetapi  aku sudah benar-benar kehilangan rasa  bersalah.

Suatu malam aku bersama teman-teman  berada di sebuah  rumah. Kami melakukan pesta narkoba. Bahkan  ada seorang teman yang over dosis  dan meninggal. Yang lain teller termasuk aku. Dan malam itu adalah malam yang sangat menyakitkan. Puluhan polisi menggrebek  rumah tempat kami menggelar pesta narkoba. Kami ditangkap. Esok hari televisi menyiarkan berita pengrebekan itu. Menyiarkan wajah-wajah pemakai narkoba termasuk wajahku. Aku sadar  ibu pasti sangat terpukul. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan datang terlambat. Aku harus  mempertanggungjawabkan perbuatan. Ditahan, dipenjarakan dan direhabilitasi.

Enam bulan sudah aku  berada di tempat rehabilitasi. Aku merasa ketergantunganku pada narkoba mulai berkurang. Aku  bertekad  untuk tidak lagi menginginkan barang haram itu. Aku mau berubah. Dan setelah menjalani hukuman aku akan pulang ke rumah dan sujud ke kaki ibu mencium telapak kakinya.
“ Bertus, ada yang mengunjungimu.” Suara sipir penjara tegas. Aku bergegas keluar dari ruang tahanan.

Aku terkejut melihat wajah yang datang. Kakakku yang pastor dan kedua kakak perempuan yang suster  mengunjungiku. Aku rebah  di pangkuan mas Simpli. Meluruhkan air mata. Ia memelukku dan membelai rambutku.
“ Ini pelajaran yang berharga. Bahwa hidup merdeka tidak selamanya merdeka. Ia bisa saja membuat orang kehilangan kemerdekaannya.”
“ Sekarang  aku rasakan mas. Maafkan aku mas.”
“ Kami semua memaafkanmu. Tapi ibu  belum menerima kenyataan ini. Nanti  setelah semuanya selesai engkau sendiri yang meminta maaf pada ibu dengan caramu sendiri.” Ujar Mas Simpli.

Kedua kakakku yang suster  pun bergantian merangkulku. Mereka seperti ibu tak banyak berkata-kata. Mereka hanya meluruhkan  air mata sedih. Mereka memelukku dan membelai rambutku. Mereka mencium keningku. Oh Tuhan, betapa mereka yang pernah serahim denganku sangat mencintaiku. Mengapa  hatiku beku dan mataku buta selama ini? Mengapa aku tak pandai melihat keunggulan keluargaku?
“ Maafkan aku Mbak Maria. Maafkan aku Mbak Theresia.” Ujarku berderai air mata.
“ Kami memaafkanmu Bertus. Kami semua sayang padamu.” Air mataku luruh. Entah berapa juta butir yang tertumpah dari jiwa yang kuyup.

Aku bersyukur mas Simpli datang dengan membawa perlengkapan misa. Atas ijin penjaga penjara  aku dan teman-teman yang katolik dapat merayakan ekaristi. Mungkin  sepuluh tahun kami tak pernah ke gereja dan tak pernah mengikuti ekaristi. Kami penuh dosa. Romo Simpli menyediakan waktu untuk mendengarkan dosa kami melalui sakramen pengakuan.
“Pengakuan kalian ini sah  karena aku sudah mendapat ijin dari pastor parokimu  di kota ini.”
“ Terima kasih Tuhan  sebab Engkau telah bebaskan kami dari belenggu dosa melalui imam yang Engkau berikan kuasa untuk mengampuni dosa kami.” Aku berdoa. Aku tahu seorang imam diberi kuasa oleh Tuhan untuk mengampuni  atau tidak mengampuni dosa seseorang.

Sejak kunjunan tiga kakak dan merayakan ekaristi hidupku  benar-benar terasa damai. Kerinduanku untuk ke gereja  bersama ibu semakin meluap. Aku tiada henti  berdoa agar  Tuhan mau membantu menyembuhkan luka batinku dan menjadikan aku berani melawan godaan. Bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun akhirnya sampai juga masa pembebasan. Tiga tahun di penjara  aku boleh pulang ke rumah. Mbak Maria, suster kakakku yang kedua kebetulan libur. Ia yang menjemputu di penjara.
“ Kak, apakah ibu masih mau menerimaku sebagai anak?”
“ Pasti. Injil sudah menulis, tak ada orang tua yang anaknya minta roti diberi kalajengking.”

Tetapi dalam perjalanan dari penjara ke rumah aku galau. Aku takut pada ibu yang akan menolakku dan tak mau mengakuiku sebagai anaknya. Tetapi apa yang kualami tidak seperti yang kutakutkan. Ibu menyambutku di gerbang rumah. Aku bersujud, mencium telapak kakinya.
“ Ibu, ini anakmu yang durhaka. Ampunilah aku.”
“ Bangkitlah anakku. Seperti apapun hari ini engkau adalah buah rahimku. Cintaku  tak pernah berkurang.” Aku memeluk ibu. Membenamkan kepala di dadanya. Aku mengalami rasa  damai yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Air mataku berderai. Dan ibu menghapus dengan telapak tangannya.
“ Jangan menangis. Jadilah anak laki yang kuat dan tegar. Termasuk kuat melawan godaan  sehingga tidak jatuh lagi di jalan sesat yang sama.”
“ Ibu, bersamamu aku mau berubah”.

Aku tersadar ketika hujan rintik-rintik. Entah berapa lama aku  bersimpuh di pusara ibu. Mengenang kisah kelabuku  sepuluh tahun silam. Mengenang ibu yang penuh cinta. Mengenang semua peristiwa hitam pekat yang pernah kulalui. Dan pada akhirnya  aku membebaskan diri dari dunia hitam. Menjadi tetap kuat dalam doa ibu dan dalam  cintanya yang tulus. Kini aku bisa merasakan apa arti kebahagiaan bersama seorang istri dan seorang anak. Dan  aku sadar, kalau seorang tak tinggal dalam Aku, maka ia akan dibuang sebagai ranting kering, yang orang kumpulkan lalu membakarnya (Yoh.15:6). Terimakasih ibu, di telapak kakimu aku rindu bersujud.***

Denpasar, 15 April 2016
*) Nama-nama fiktif, kesamaan hanya kebetulan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Romo Agustinus Lie,CDD *)

Menjadi Gembala “Berbau” Domba

Paroki Maria Bunda segala Bangsa Nusa Dua