Di Telapak Kaki Ibuku
Aku tak
bedanya dengan anak yang hilang. Anak bungsu yang dikisahkan oleh kitab suci
yang meminta warisannya lalu dijualnya
dan uang digunakan untuk berfoya-foya
dengan pelacur di kota. Seperti itulah aku.Bedanya jika anak yang hilang itu meminta kepada
bapanya, aku kepada ibu yang telah lama hidup menjanda.Jika anak yang hilang
itu pergi ke kota lain sedang aku tetap
di kota tempat tinggal ibuku.
Aku
anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulungku ditahbiskan
menjadi imam. Dua kakak perempuanku memilih jalan hidup membiara. Maka yang tinggal di rumah adalah aku. Sesungguhnya aku
ingin pergi ke kota lain. Tetapi kakakku yang sulung melarang. Katanya aku harus menjaga ibu
karena ia sudah semakin sepuh.
“ Eh
ade, kau tinggal di rumah. Lihat ibu
sudah tua. Kau jangan pergi merantau.” Kakak sulung yang pastor memberi
nasihat.
“
Tapi saya juga mau cari pengalaman di
kota lain.”
“ Tidak
usah. Di sini juga kota besar. Jogyakarta
ini kota terkenal. Kau tinggal saja di sini bersama ibu.” Kata
kakak.
“ Yah,
baik kakak.”
Aku
menurut saja. Setelah menyelesaikan kuliah di sebuah sekolah seni aku
sesungguhnya ingin ke Jakarta. Teman kelasku yang berani ke Jakarta berhasil menjadi artis terkenal. Pada hal aku
tahu masa kuliah dia bukan mahasiswi
yang cerdas. Lagi pula di Jogyakarta lulusan perguruan tinggi seni kalau mengambil
jurusan salah bisa menjadi penganggur. Seperti aku yang mengambil jurusan sinematologi akhirnya menganggur. Suatu hari aku bertemu
dengan artis teman kelasku itu.
“ Mas
Bertus ayo ke Jakarta. Kamu bisa jadi
bintang film sukses.”
“ Aku
disuruh kakak-kakaku menemani ibu.”
“
Ouhhh, anak mama banget. Kasihan deh loe.” Kata-kata yang sangat menampar.
Kata-kata yang menyakitkan. Ingin rasanya
pergi ke Jakarta meninggalkan rumah dan meninggalkan ibu.
Tahun
terus berganti. Aku menjadi sosok yang tanpa orientasi hidup. Aku seperti
burung yang terbang dari satu dahan ke dahan lain tanpa keinginan membangun
sarang. Aku pun tak memiliki pekerjaan tetap. Aku bergaul dengan anak-anak yang sama denganku bahkan lebih parah. Mereka
yang putus sekolah dan dari keluarga
yang hancur. Mereka yang residivis
keluar dari penjara karena mencuri,
merampok dan menjual narkoba.
Pergaulanku
dengan anak-anak yang
tak punya orientasi hidup. Yang
saban hari hanya minum minuman
keras dan mengonsumsi narkoba. Dan kalau
tak ada lagi uang mereka akan merampok
bahkan tak segan membunuh. Bulu kudukku merinding kalau mendengar kisah mereka.
“ Kita
harus selalu punya uang untuk beli arak dan narkoba serta main perempuan.” Kata-kata seorang teman yang tubuhnya kurus kerempeng.
“
Makanya kau ikut kami. Dari pada hidup
galau kita besenang-senang. Narkoba bisa buat kita happy.” Kata yang lain.
Aku
sangat sadar bahwa mencuri, merampok dan
main perempuan apa lagi membunuh
melanggar perintah Tuhan. Jangan membunuh, jangan bersinah adalah perintah Tuhan yang terhimpun dalam
sepuluh perintah Tuhan. Di awal aku berkenalan dengan teman-teman brengsek
itu adalah ingin mengubah mereka menjadi
orang baik. Aku mau menunjukkan identitasku sebagai orang katolik yang sangat
taat pada ajaran kitab suci. Menunjukkan kepada mereka yang seiman maupun yang
bukan seiman bahwa agama kami terbaik.
Tapi
lama kelamaan aku semakin masuk dalam
gaya hidup mereka. Masuk dalam kesenangan mereka. Masuk dalam dunia mereka.
Perangaiku makin berubah. Aku jarang pulang ke rumah. Kalau pun pulang aku
hanya mau meminta uang pada ibu.
Kalau ibu tak memberi aku pasti berkata kasar pada ibu. Atau mencuri
perhiasan ibu di lemari. Ibu benar-benar
sedih melihat perubahanku. Tetapi aku
tak perduli.
“Bertus,
mengapa kau jadi begini nak? Mengapa kau berubah. Ingatlah nak, apa yang kau
lakukan itu dosa.”
“ Ah
ibu diam. Aku ini tidak hidup pada jaman ibu muda dulu. Ini jaman modern. Hidup
harus bebas.”
“
Sadarlah nak, sadar. Kakakmu itu pastor, saudari-saudarimu suster.”
“ Itu
urusan mereka. Hidup itu urusan masing-masing. Masuk surga juga urusan
masing-masing.” Aku benar-benar melawan ibu. Aku tahu ibu menangis. Tapi hatiku
sudah beku. Mataku sudah buta. Aku tak
perduli hati ibu yang hancur luluh.
Aku
benar-benar berubah. Entah berapa perempuan yang sudah aku kencani. Aku sudah benar-benar madat rokok. Aku menjadi sangat tergantung pada minuman beralkohol. Dan aku menjadi madat narkoba. Sehari saja aku
tak pakai pasti akan merasakan deraan
yang luar biasa. Karna itu setiap hari
aku harus selalu mempunyai uang agar bisa membeli narkoba. Setiap aku
membutuhkan uang aku pulang ke
rumah memaksa ibu untuk memberiku uang.
Perhiasan ibu sudah habis kujual.
Alat-alat rumah tangga pun kujual.
“
Bertus, lihat nak, lihat ibumu.”
“ Sudah
ibu, jangan banyak bicara.”
“ Kau
di jalan yang salah nak.”
“
Memangnya aku pikiran?” Jawabku. Aku tahu jawaban itu melukai hati
ibu. Tetapi aku sudah benar-benar
kehilangan rasa bersalah.
Suatu
malam aku bersama teman-teman berada di
sebuah rumah. Kami melakukan pesta
narkoba. Bahkan ada seorang teman yang
over dosis dan meninggal. Yang lain
teller termasuk aku. Dan malam itu adalah malam yang sangat menyakitkan.
Puluhan polisi menggrebek rumah tempat
kami menggelar pesta narkoba. Kami ditangkap. Esok hari televisi menyiarkan
berita pengrebekan itu. Menyiarkan wajah-wajah pemakai narkoba termasuk
wajahku. Aku sadar ibu pasti sangat
terpukul. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan datang terlambat. Aku
harus mempertanggungjawabkan perbuatan.
Ditahan, dipenjarakan dan direhabilitasi.
Enam
bulan sudah aku berada di tempat
rehabilitasi. Aku merasa ketergantunganku pada narkoba mulai berkurang.
Aku bertekad untuk tidak lagi menginginkan barang haram
itu. Aku mau berubah. Dan setelah menjalani hukuman aku akan pulang ke rumah
dan sujud ke kaki ibu mencium telapak kakinya.
“
Bertus, ada yang mengunjungimu.” Suara sipir penjara tegas. Aku bergegas keluar
dari ruang tahanan.
Aku
terkejut melihat wajah yang datang. Kakakku yang pastor dan kedua kakak
perempuan yang suster mengunjungiku. Aku
rebah di pangkuan mas Simpli. Meluruhkan
air mata. Ia memelukku dan membelai rambutku.
“ Ini
pelajaran yang berharga. Bahwa hidup merdeka tidak selamanya merdeka. Ia bisa
saja membuat orang kehilangan kemerdekaannya.”
“
Sekarang aku rasakan mas. Maafkan aku
mas.”
“ Kami
semua memaafkanmu. Tapi ibu belum
menerima kenyataan ini. Nanti setelah
semuanya selesai engkau sendiri yang meminta maaf pada ibu dengan caramu
sendiri.” Ujar Mas Simpli.
Kedua
kakakku yang suster pun bergantian
merangkulku. Mereka seperti ibu tak banyak berkata-kata. Mereka hanya
meluruhkan air mata sedih. Mereka
memelukku dan membelai rambutku. Mereka mencium keningku. Oh Tuhan, betapa
mereka yang pernah serahim denganku sangat mencintaiku. Mengapa hatiku beku dan mataku buta selama ini?
Mengapa aku tak pandai melihat keunggulan keluargaku?
“
Maafkan aku Mbak Maria. Maafkan aku Mbak Theresia.” Ujarku berderai air mata.
“ Kami
memaafkanmu Bertus. Kami semua sayang padamu.” Air mataku luruh. Entah berapa
juta butir yang tertumpah dari jiwa yang kuyup.
Aku
bersyukur mas Simpli datang dengan membawa perlengkapan misa. Atas ijin penjaga
penjara aku dan teman-teman yang katolik
dapat merayakan ekaristi. Mungkin
sepuluh tahun kami tak pernah ke gereja dan tak pernah mengikuti
ekaristi. Kami penuh dosa. Romo Simpli menyediakan waktu untuk mendengarkan
dosa kami melalui sakramen pengakuan.
“Pengakuan
kalian ini sah karena aku sudah mendapat
ijin dari pastor parokimu di kota ini.”
“
Terima kasih Tuhan sebab Engkau telah
bebaskan kami dari belenggu dosa melalui imam yang Engkau berikan kuasa untuk
mengampuni dosa kami.” Aku berdoa. Aku tahu seorang imam diberi kuasa oleh
Tuhan untuk mengampuni atau tidak
mengampuni dosa seseorang.
Sejak
kunjunan tiga kakak dan merayakan ekaristi hidupku benar-benar terasa damai. Kerinduanku untuk
ke gereja bersama ibu semakin meluap.
Aku tiada henti berdoa agar Tuhan mau membantu menyembuhkan luka batinku
dan menjadikan aku berani melawan godaan. Bulan berganti bulan dan tahun
berganti tahun akhirnya sampai juga masa pembebasan. Tiga tahun di penjara aku boleh pulang ke rumah. Mbak Maria, suster
kakakku yang kedua kebetulan libur. Ia yang menjemputu di penjara.
“ Kak,
apakah ibu masih mau menerimaku sebagai anak?”
“
Pasti. Injil sudah menulis, tak ada orang tua yang anaknya minta roti diberi
kalajengking.”
Tetapi
dalam perjalanan dari penjara ke rumah aku galau. Aku takut pada ibu yang akan
menolakku dan tak mau mengakuiku sebagai anaknya. Tetapi apa yang kualami tidak
seperti yang kutakutkan. Ibu menyambutku di gerbang rumah. Aku bersujud,
mencium telapak kakinya.
“ Ibu,
ini anakmu yang durhaka. Ampunilah aku.”
“
Bangkitlah anakku. Seperti apapun hari ini engkau adalah buah rahimku.
Cintaku tak pernah berkurang.” Aku
memeluk ibu. Membenamkan kepala di dadanya. Aku mengalami rasa damai yang tak bisa kulukiskan dengan
kata-kata. Air mataku berderai. Dan ibu menghapus dengan telapak tangannya.
“
Jangan menangis. Jadilah anak laki yang kuat dan tegar. Termasuk kuat melawan
godaan sehingga tidak jatuh lagi di
jalan sesat yang sama.”
“ Ibu,
bersamamu aku mau berubah”.
Aku
tersadar ketika hujan rintik-rintik. Entah berapa lama aku bersimpuh di pusara ibu. Mengenang kisah
kelabuku sepuluh tahun silam. Mengenang
ibu yang penuh cinta. Mengenang semua peristiwa hitam pekat yang pernah
kulalui. Dan pada akhirnya aku
membebaskan diri dari dunia hitam. Menjadi tetap kuat dalam doa ibu dan
dalam cintanya yang tulus. Kini aku bisa
merasakan apa arti kebahagiaan bersama seorang istri dan seorang anak. Dan aku sadar, kalau seorang tak tinggal dalam
Aku, maka ia akan dibuang sebagai ranting kering, yang orang kumpulkan lalu
membakarnya (Yoh.15:6). Terimakasih ibu, di telapak kakimu aku rindu
bersujud.***
Denpasar,
15 April 2016
*)
Nama-nama fiktif, kesamaan hanya kebetulan.
Komentar
Posting Komentar