Di Detik-Detik Terakhir
Kami mengawali pertemuan di sebuah universitas di Kota
Jogyakarta. Pertemuan yang bukan
kebetulan. Kami juga satu fakultas dan
satu program studi. Kami mempunyai minat yang sama terhadap Arkeologi.Sejak
hari pertama saat mengikuti perpeloncoan
kami sudah akrab. Teman-teman mahasiswa
menyapa dia dengan nama Putri. Ia
gadis cantik kelahiran Bantul. Ia putri seorang keturunan bangsawan.
Maka nama lengkapnya Raden Ajeng Maria Putri Prabaningrum. Entah mengapa orang-orang hanya menyapa namanya dengan
sebutan Putri.
Kami sungguh aktif
di organisasi kampus. Ketika aku terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa Putri
adalah sekretarisnya. Dan ketika aku
didaulat sebagai ketua sebuah organisasi kemahasiswaan katolik di Kota
Jogyakarta Putri juga adalah sekretarisnya. Maka kebersamaan kami hampir sepanjang hari. Kebersamaan tanpa ucapan cinta. Tetapi yang kami rasakan
adalah saling merindu. Merasa kesepian jika tak bersua sehari saja. Aku tak
tahu persis apakah itu benih-benih cinta. Atau mungkin kecantikan Putri yang menjadi pelatuknya.
“ Putri, aku kangen, kangen sekali.” Suatu ketika aku menelpon Putri ketika aku liburan Reba di Maghilewa.Aku menelponnya dari sebuah batu
besar di pinggir pantai Waesugi.
“ Aku juga kangen, kangen sekali.Telpon berkali-kali Mas
tak mengangkatnya?” Aku dapat
merasakan degupan-degupan jantung
kerinduannya. Pada hal baru dua minggu aku di Flores.
“ Ohhh, maaf
Putri. Di kampung tradisional Maghilewa tak ada sinyal. Saat ini aku di
Malapedho, di sebuah batu besar di pinggir pantai. Itu yang dilakukan orang-orang di kampung ini untuk menelpon
sanak keluarganya di rantauan.”
“ Mengapa bisa begitu Mas?”
“ Di kampungku mencari sinyal cukup sulit. Orang-orang
bahkan harus memanjat pohon kelapa atau
pohon lontar untuk mencari sinyal. Pasti sangat beda dengan Jogyakarta. Jadi
harap maklum. Oh ya minggu depan aku balik ke Jogyakarta.”
“ Aku tunggu Mas, jangan lupa oleh-oleh dari Flores.”
Kembali ke Jogyakarta. Kembali ke kebersamaan dengan
Putri.Kembali ke rutinitas kuliah sambil bekerja di sebuah harian. Tak
terasa kami sudah menempuh seluruh mata
kuliah. Dan sebagai syarat memperoleh gelar sarjana kami harus membuat karya tulis tentang
antropologi. Kami ditawarkan dosen
pembimbing untuk boleh melakukan penelitian dimana saja di seluruh Indonesia. Aku dan Putri sepakat untuk
melakukan penelitian di situs-situs kampung tradisional di lereng
gunung Inerie.
“ Ini kesempatan aku mengenal Flores dari dekat. Seperti
apa Flores itu?” Kata-kata Putri menyentuh nuraniku.
“ Seperti ketika engkau melihatku.” Aku bercanda. Dan
Putri mencubit lenganku. Lalu menjatuhkan kepalanya di bahuku. Jantungku berdegub keras. Mungkin
sekeras deburan ombak di Pantai
Parangtritis. Ketika itu senja di
Parangtritis. Kami menikmati panorama laut dan sepasang burung camar
yang mengepak sayap di langit yang terbang menuju bukit karang. Kami merasakan derai butir kehangatan.
Saatnya untuk
beberapa bulan kami meninggalkan Jogyakarta. Kami melakukan perjalanan ke Maghilewa. Untuk
menambah pengalaman dan menanamkan cinta
tanah air kami memutuskan perjalanan darat. Itu berarti kami harus menyusuri
sebagian Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan setengah bagian barat Flores. Di
Bali kami menyempatkan satu hari menikmati keindahan Bali. Di Lombok pun
demikian. Di Sumbawa kami menikmati alam gersang namun indah. Kami sempat ke Komodo untuk
menyaksikan Varanus Komodoensis yang
terkenal itu. Lalu menyusuri jalan berkelok
Labuanbajo hingga Aimere. Dan melanjutkan ke Malapedho dengan ojek.
“ Pengalaman perjalanan yang menegangkan sekaligus menyenangkan.” Putri tersenyum saat kami tiba di rumah Malapedho.
“ Jadi Putri, engkau sudah melihat Indonesia selain
Jogyakarta.”
“ Yah, Indonesia. Aku bangga jadi orang Indonesia.
Hari-hari berikutnya kami tenggelam dalam kegiatan
penelitian. Kami mengunjungi kampung tradisional Jere dan Maghilewa. Juga Watu
dan Leke. Kami mendengar kisah-kisah
sejarah leluhur dari para tua adat di kampung-kampung tersebut. Dan yang menarik adalah kisah tentang Taka Turu Wara.
Sebuah kisah yang terjadi di Nua Mulu.Kami pun mendaki bukit untuk bisa sampai
di Nua Mulu. Bekas kampung itu terletak
di atas puncak bukit bernama Wolo Mulu, persis
di lereng gunung Inerie. Bekas kampung kuno masih terlihat. Batu-batu
megalitik masih berdiri kokoh. Inilah Nua Mulu.
“ Mas, pasti ada kisahnya” Tanya Putri.
“ Aku tahu sekilas kisah itu.”
“ Ceriterakan dong Mas.”
Kisah itu terjadi entah kapan.Tak ada catatan tertulis.
Kisahnya turun temurun secara lisan. Ada
keluarga yatim piatu terdiri dari tiga pemuda. Yang sulung bernama Lobe, yang
kedua Liko dan yang bungsu Leba. Lobe sakit-sakitan karena tubuhnya penuh luka.
Karena itu ia lebih banyak tinggal di kampung sedangkan dua saudaranya ke kebun. Suatu hari mereka menjemur
sorghum yang disebut ghedho. Lobe
ditugaskan untuk menjaga agar tidak dimakan burung perkutut. Kedua saudaranya
ke kebun. Tengah hari terjadi angin puting beliung dalam bahasa daerah disebut
Pote Polo. Angin itu membawa terbang
ghedho yang dijemur pada selembar tikar.
Kehilangan ghedho itu membuat Lobe sedih. Ia juga takut akan diomeli saudara-saudaranya. Maka ia menyusuri kemana
angin membawa jemuran ghedho tersebut. Sebab sepanjang jalan ada saja
butir-butir ghedho yang tercecer. Lobe
sampai di gerbang sebuah kampung. Orang-orang di kampung itu
sedang berpesta karena mendapatkan
ghedho. Orang-orang kampung itu lalu menangkap Lobe kemudian dibakar hidup-hidup dan diperam dalam tumpukan
daun pisang. Setelah empatpuluh hari empatpuluh malam Lobe hidup kembali sebagai pemuda yang tampan.
Di Nua Mulu
orang-orang sangat sedih. Mereka berkabung atas hilangnya Lobe. Maka tak
ada pesta, tak ada bunyi-bunyian bahkan tak ada suara-suara keras. Mereka larut
dalam duka. Hingga malam keempatpuluh
terdengar ada yang membunyikan gendang.
Orang-orang kampungpun marah. Tetapi
gendang terus dibunyikan. Karena penasaran mereka melihat siapa yang
berani membunyikan gendang saat orang
kampung berkabung. Mereka terkejut melihat sosok pria tampan. Ia mengaku Lobe.
Sebagai bukti Lobe menunjukkan sebuah kapak
mas sebagai ganti ghedho
yang dibawa kabur angin empatpuluh hari lalu.
Seisi kampung pun larut dalam sukacita.
Kapak mas itu lalu dinamakan Taka Turu Wara. Benda itu sampai sekarang masih
tersimpan di Sa’o Diazia kampung Leke. Disimpan dalam sebuah periuk. Jika
dikeluarkan dari periuk akan terjadi angin.
“ Kisah yang fantastis.” Putri mengguman.
“ Kita bisa membuktikannya.” Kami tertawa di bukit sunyi.
Lalu kami duduk di atas mesbah bernama ture. Mata kami
menatap sosok gunung Inerie yan dibalut hutan meskipun puncaknya gersang. Gunung yang menawarkan sosok yang
mempesona. Lalu kami memandang bentangan
Laut Sawu yang membiru. Dari bukit Wolo
Mulu kami menikmati firdaus. Menikmati keberduaan kami. Menikmati dua hati yang
sangat dekat meski belum pernah terucap
cinta.
“ Indah, sungguh indah. Aku jatuh cinta pada tanah ini.
Jatuh cinta pada alam di sini. Seumur hidup aku di sini, aku pasti bertahan
Mas.” Putri menatapku.
“ Jangan Cuma mencintai tanah ini. Cintai juga yang
lain.”
“ Maksud Mas?”
“ Cintai manusia-manusianya. Cintai laki-laki.”
“ Siapa laki-laki itu?”
“ Aku.”
“ Haruskah cinta diungkapkan dengan kata-kata? Sudah Mas,
benih sudah ditabur. Kecambah sudah tumbuh. Mari kita sirami agar menjadi pohon
yang memberi buah berlimpah.”
“ Jadi engkau…”
“ Yah.” Putri rebah di dadaku. Di hening Nua Mulu. Aku
tak tahu apakah Inerie tersenyum melihat kami memadu cinta.Kuyakin Inerie
menyaksikan ketulusan cinta kami.
Waktu terus berjalan. Di Jogyakarta kami menyelesaikan studi. Menikmati kebahagiaan
karena berhasil menggapai gelar sarjana. Kamipun bertunangan. Lalu
menyiapkan diri menikah secara katolik. Memulai dengan kursus persiapan
perkawinan. Lalu penelitian kanonik dan
pengumuman pernikahan di gereja. Dan menentukan tanggal pernikahan 16 Mei.
Semuanya berjalan mulus. Kami berharap
semua persiapan pernikahan dapat
berjalan sesuai rencana.
Suatu senja di Malioboro. Putri mengeluh perutnya
sakit sangat hebat. Ia pun jatuh
pingsan. Aku membawanya ke RS Panti Rapih. Keluarga di Bantul pun berkumpul di rumah sakit itu. Putri harus
dirawat di UGD. Para dokter tampak
sibuk. Di ruang tunggu aku berdoa agar
Tuhan memelihara Putri. Aku membutuhkannya. Empat jam kemudian seorang dokter
keluar dari ruangan. Ia menyampaikan berita mengejutkan.
“ Maaf, dari diagnose
Putri mengidap kanker rahim stadium empat. Tindakan operasi mengagkat
rahim harus segera dilakukan. Jika tidak
sel-sel kanker akan menyebar ke seluruh tubuh.”
“ Kanker rahim?” Tanyaku pada dokter.
“ Betul. Tapi nyawa Mbak Putri bisa diselematkan dengan
tindakan operasi pengangkatan rahim. Perlu persetujuan Putri dan keluarga.”
Aku menatap ayah Putri. Ia mengerti maksudku. Lalu ia
mendekatku.
“ Nak Gusti, kalau Putri tak dioperasi ia akan pergi selamanya. Kalau rahimnya
diangkat ia hidup tetapi tak akan memberimu keturunan. Keputusan ada padamu
tetap mencintai Putri atau putus.
Sebagai ayah aku memutuskan Putri harus operasi pengangkatan rahim.”
“ Operasi pak. Setelah itu kami menikah.”
“ Engkau tak menyesal nanti nak?”
“ Tidak pak, karena cinta itu tulus. Cintaku pada
Putri sejak pertemuan pertama sampai maut memisahkan kami.”
“ Terimakasih nak.”
Tugas kami adalah memberikan keyakinan pada Putri bahwa
setelah operasi ia akan tetap melahirkan seribu
bayi untukku. Sebab dari dokter
kami tahu Putri memilih mati daripada hidup
tanpa rahim dan tanpa memberikan keturunan.
“ Putri, kau harus kuat. Kau harus hadapi pengalaman
hidup ini dengan iman sebesar biji sesawi. Aku yakin Tuhan mempunyai rencana
yang indah untuk kita.”
“ Mas, ini tidak mungkin terjadi padaku. Setiap perempuan
mendambakan suatu saat melahirkan anak.
Ia akan disapa ibu oleh anak-anaknya.
Sedang aku, satu minggu lagi mau menikah lalu Tuhan harus mengangkat rahimku?
Ini tidak adil Mas.”
“ Tuhan selalu adil. Percayalah sayang. Cintaku tak
berkurang sedikitpun meskipun kini
kutahu bahwa engkau tak akan pernah
memberiku keturunan.”
“ Tuhan tidak adil, tidak adil Mas…” Putri meluruhkan air
mata. Memelukku erat. Membenamkan wajahnya di dadaku. Dan aku pun merangkulnya.
Mengecup rambutnya.
“ Tuhan adil sayang. Ia sangat adil. Percayalah, kita
akan memiliki banyak anak tanpa harus melahirkan anak. Aku yakin Tuhan punya
rencana indah.”
Dokter sudah
menentukan waktu bagi Putri untuk masuk ke ruang operasi.
Tetapi Putri tetap menolak untuk operasi
pengangkatan rahim. Ayah dan ibu sudah
menyerah. Tetapi aku tak boleh menyerah. Aku harus bisa
meyakinkan Putri agar ia mau menjalani
operasi.
“Sayang, kalau kau menolak dioperasi, kau akan pergi jauh.
Kau akan pergi sendirian. Pada hal kita sudah berjanji untuk mewujudkan rencana hidup dan masa depan bersama-sama.
Jika engkau merelahkan rahimmu diangkat, engkau hidup. Dan kita akan memiliki waktu untuk mewujudkan impian.”
“ Tanpa anak?”
“ Engkau salah sayang. Percayalah Tuhan akan memberi kita
anak-anak. Bahkan sejuta anak kalau
Tuhan mau.”
“Mas, bukankah menikah itu untuk melahirkan anak-anak?”
“ Tapi bukan satu-satunya tujuan perkawinan. Gereja kita
punya hukum. Kitab hukum kanonik kan.1055 menegaskan dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita
membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya
perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami isteri serta kelahiran dan
pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang
yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.”
“Apakah Mas akan
tetap setia ketika aku tak dapat melahirkan anak?”
“ Aku yakin sayang, tak ada yang mustahil bagi Tuhan.
Tuhan akan memberikan kita seribu bahkan
sejuta anak. Percayalah cintaku tak akan berkurang karena
engkau tak dapat melahirkan anak-anak.”
Kulihat Putri tersenyum. Dokter masuk ke ruang rawat
Putri. Beberapa perawat mendorong masuk kerete dorong.Kereta itu yang akan
membawa Putri ke ruang operasi.
“ Mbak Putri, sudah siap?”Tanya dokter.
Putri tak segera menjawab. Ia menatapku. Kulihat butir-butr air mata luruh dari bola matanya.
Aku mengecup keningnya. Lalu kubisik kata-kata di telinganya.
“ Sayang, katakan
engkau siap. Aku mencintaimu.”
Pada dua detik sebelum jam 24.00 tengah malam Putri menganggukkan kepala.
“ Siap dokter.” Para perawat pun mendorong kereta ke
dalam ruang operasi. Semuanya berjalan
dalam lindungan Tuhan. Operasi tanpa
hambatan. Tuhan itu baik dan selalu
menepati janjiNya.
Ini pengalaman sepuluh tahun lalu. Kenangan yang tiba-tiba saja muncul ketika hari ini merayakan misa kudus
Minggu Kerahiman Ilahi. Ketika aku dan
Putri menyadari betapa mulianya rahim
seorang ibu. Ketika aku dan Putri menyadari bahwa dari rahim perempuan yang
utuh lahir anak-anak yang disia-siakan,
ditolak, dibuang bahkan dibunuh. Dan anak-anak itulah yang kini menjadi anak-anak kami di Panti Asuhan.
“ Mas, benar yang mas katakan. Tuhan akan mengirim anak-anak dan kita tak pernah akan kesepian.”
“ Jadi tak ada yang mustahil bagi Tuhan. Seandainya dua
detik sebelum saat operasi engkau tak
menganggukan kepala dan siap dioperasi kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti yang kita rasakan saat
ini.”
“ Terimakasih Mas. Terimakasih Tuhan.” Kami bergenggaman
tangan. Ah, sungguh-sungguh pengalaman yang semakin menyuburkan cinta kami.
Meski kami selalu sadar, jalan masih panjang. Kami mesti selalu menyiram taman
perkawinan kami agar bunga cinta jangan
sampai layu.***
Minggu Kerahiman Ilahi 3 April 2016
*) Cerpen ini fiksi, kesamaan tempat dan nama hanya kebetulan saja.
Komentar
Posting Komentar