Buah Rahimku


Cerpen: Agust GT

Aku menikah dengan laki-laki Flores. Pernikahan yang memerlukan perjuangan berat. Kedua orangtuaku dan keluarga besar tak menghendaki pernikahanku dengan Lalungadha. Bukan karena Lalungadha tidak tampan atau pengangguran tetapi ada alasan lain yang lebih fundamental. Kami berbeda dari aspek kehidupan yang sangat prinsipil. Kami beda agama.

Aku lahir dari keluarga  bukan katolik sedangkan Lalungadha  seorang katolik yang taat. Meskipun selama aku mengenalnya di sebuah kampus di Kota Denpasar ia jarang ke gereja. Ia salah satu dosen Fakultas Hukum. Aku mengaguminya  karena ia cerdas. Ia sedikit pendiam  namun sangat humoris. Ia pandai membuatku tertawa. Dan lebih dari itu ia mau menerimaku  apa adanya. Menerima masa laluku  dan mencintaiku tanpa menjadikan masa laluku yang kelam sebagai  pembanding. Pada hal aku  sudah berterus terang siapa aku sesungguhnya. Sejak  saat pertama ia mengungkapkan kata cinta aku sudah mengatakan padanya siapa aku sesungguhnya.


Waktu itu malam minggu kami menikmati angin malam di Pantai Sanur. Menikmati panorama  Sanur  yang  mempesona itu. Menikmati kelap kelip lampu dari Hotel Sanur Beach. Dan menikmati debur ombak yang menjilati batu tanggul penahan air laut  agar Sanur tak mengalami abrasi. Kami duduk tanpa jarak. Lalu kurasakan tangannya menggenggam jemariku.
“ Aku mau mengatakan sesuatu padamu  Ayu.”
“ Mau bilang apa kak?”
“ Cinta.”
“ Maksud kakak?”
“ Aku mencintaimu.”

Untuk beberapa saat  aku terhenyak. Aku larut dalam rasa sukma yang haru biru. Antara  sukacita dan ketakutan. Takut  kalau Lalungadha tahu siapa aku sesungguhnya. Tiba-tiba kenangan kelabu terlintas kembali. Ketika itu di pantai Kuta pada suatu senja di bawah matahari bening. Lelaki  bernama  Gutres  mengumbar  kata cinta. Aku tak menghitungnya. Mungkin seratus kali ia mengumbar kata cinta. Membuat aku terlena. Dan hari-hari berlanjut. Semuanya terjadi di luar kesadaran. Aku hamil. Aku terpaksa  cuti dari kuliah yang baru masuk awal semester tiga.
“ Ayu, ini cinta yang tulus.Lahir dari  hati mengalir dari nurani.” Suara Lalungadha  terdengar sangat  serius.
“ Tapi kak, aku bukan seperti yang engkau kira.”
“ Maksudmu  karena  kau punya seorang anak laki-laki usia dua tahun  yang ditinggal pergi ayah biologisnya?”
Aku terkesiap. Kurasakan kepalaku seperti diterpa puluhan kilogram martil. Tak kusangka Lalungadha tahu siapa aku sesungguhnya.
“ Kakak  sudah tahu siapa aku. Jadi layakkah aku menjadi pendampingmu? Pantaskah aku menjadi belahan jiwamu ketika  aku bukan perempuan murni.”
“ Siapa bilang kau tidak murni?”
“ Aku kak, aku yang merasa diri sendiri. Aku pernah terhina. Pernah jatuh dalam kubang  dosa…”
“ Ketika  engkau mengandung  karena perbuatan laki-laki  yang masih manusia, itu engkau katakan dirimu terhina?”
“ Aku merasa begitu”

Lalungadha  memelukku. Membelai rambutku. Aku merasa berada pada tangan seorang pria yang melindungiku. Ada rasa damai. Ada rasa percaya. Ada seribu harapan  menggelayut dalam dadaku.
“ Aku sudah tahu siapa dirimu.Engkau cuti kuliah karena melahirkan seorang anak laki-laki. Engkau sendiri yang menghendaki bayi itu lahir. Engkau melawan godaan untuk melakukan aborsi. Engkau rela pergi dari rumah untuk menyembunyikan rasa malu orang tua. Melahirkan di kota Jember jauh dari keluarga. Demi anakmu, itu yang mengagumkan.”
“ Kak, kenapa kakak tahu semua jalan hidupku?”
“ Laki-laki itu terpaksa kembali ke Timor Leste karena politik mengharuskan. Ketika  nasionalisme terhadap Indonesia  sangat kuat dan engkau tak mau pergi ke negeri orang.”
“ Itu alasannya mengapa Gutres meninggalkanku.”
“ Jadi kau perempuan  kuat. Aku mengagumi perempuan kuat. Seperti dirimu.”
“ Tapi aku punya anak dan ia bukan anakmu.”
“ Delon  menjadi anak kita.”

Hubunganku dengan Lalungadha  menghadapi tantangan. Orangtuaku  tidak merestuinya. Selain alasan  beda agama juga  karena pengalaman yang menyakitkan  ketika aku ditinggal Gutres. Mereka  tidak ingin aku hanya menjadi barang mainan. Setelah hamil kemudian ditinggal pergi.
“ Pokoknya  kawin dengan orang dari daerah Timur  kami tidak setuju.” Ini ungkapan ayahku.
“ Lalungadha itu beda dengan Gutres. Dia terpelajar. Dia dosen. Dia  tidak mungkin  melakukan hal-hal seperti yang preman lakukan.”
“ Tetap  pada keputusan, kau tidak boleh menikah dengan Lalungadha itu.”

Ini hanya salah satu alasan yang dikemukakan keluargaku. Masih ada alasn-alasan lainnya  yang menurutku masuk akal. Tetapi di lubuk hatiku ada kepercayaan  kepada Lalungadha. Dan ketika  aku menyampaikan keberatan keluargaku Lalungadha dengan gagah perkasa  mendatangi keluarga. Ia benar-benar  datang sebagai seorang lelaki yang tulus. Ia mampu meluluhkan  hati kedua orangtua dan keluargaku. Kamipun menikah. Kini usia pernikahan kami duabelas tahun. Delon telah beranjak remaja  limebelas tahun. Dan adiknya Floresta  usia sepuluh tahun. Kami bahagia  dalam balutan kesederhanaan.

Sampai  suatu hari  di bulan April. Ketika  suamiku tugas ke luar daerah. Sudah satu minggu  ini  suamiku bertugas ke Flores  karena ia juga dosen di salah satu perguruan tiggi di Flores. Sedang aku memilih  tidak bekerja  agar bisa merawat anak-anak. Aku membuka sebuah  warung makan di tengah kota Denpasar. Suatu malam sekitar pukul 19.30  Delon datang  mengendarai sepeda motor. Wajahnya pucat dan ia ketakutan. Kulihat baju yang dipakainya berlumuran darah. Ia memelukku.
“ Mama, maafkan aku…” Delon sujud di kakiku dan mencium jari kakiku.
“ Apa yang kau lakukan nak?”
“ Aku…aku….” Delon tak melanjutkan kata-kata. Ia memelukku. Ia meraung histeris.
“ Apa yang telah terjadi?” Tanyaku. Delon hanya gemetaran.

Di saat yang sama raung sirene polisi mendekat ke halaman rumah. Kulihat puluhan polisi turun dari mobil patroli. Mereka masuk ke teras rumah. Aku menghadapi para polisi itu.
“ Ada apa ini pak?”
“ Benar  ibu ini orang tua Delon?”
“ Betul pak.”
“ Maaf ibu, anak ibu terlibat perkelahian hingga membawa korban kematian.”
“ Ya Tuhan.” Aku berteriak. Aku menangis histeris. Aku  tidak yakin Delon yang santun dapat melakukan  perbuatan menghilangkan nyawa sesama. Melakukan pembunuhan.
Polisi meminta untuk membawa Delon ke kantor polisi. Aku minta waktu  pada polisi untuk menelpon ayahnya.
“ Beri aku waktu pak untuk menelpon ayahnya di Flores.”
“ Oh silahkan ibu.” Aku menelpon Lalungadha.
“ Hallo pak, ini mama.”   Suaraku serak sambil menahan tangis.
“ Yah ma, ada apa?”
“ Delon pak.”
“ Delon kenapa?”
“ Delon berkelahi  dan membunuh temannya.”
“ Yah, esok aku pulang. Biarkan Delon dibawa polisi.”

Delon pun dibawa polisi ke Kantor Polisi. Aku merasa  duniaku sudah kiamat. Hancur hati  seorang ibu lebih-lebih ketika aku menghadapi masalah ini di saat  suamiku tak berada di tempat. Semalam suntuk aku tak bisa memejamkan mata. Aku menangis. Aku meratap. Aku bertanya pada Tuhan, salah apa  kami  sehingga  harus mendapat  cobaan seberat ini?  Esok pagi  Lalungadha sampai di rumah. Aku memeluknya, menumpahkan kesedihan.
“ Maafkan aku kak. Aku telah melahirkan anak yang membuatmu turut menanggung beban berat. Menanggung rasa malu  dan mungkin akan dijuluki  orangtua dari seorang pembunuh.”
“ Ini beban kita berdua. Kita  harus memikulnya bersama. Ini salib yang harus kita panggul bersama.”
“ Dia buah rahimku. Aku yang lebih berat menanggung beban.”
“ Delon itu anak kita. Ayo, bangkit dan mari kita pikul bersama. Inilah duka kita, inilah kemalangan kita.” Lalungadha memelukku erat.
Dan ia membisikkan pesan bapa suci Fransikus di telingaku. Kita tidak sempurna dan tidak menikah dengan orang yang sempurna. Maka kita juga punya anak yang tidak sempurna. Kita mengeluh satu kepada yang lain. Kita kecewa satu terhadap yang lain. Karena itu tidak ada pernikahan yang sehat dan tidak ada keluarga yang sehat tanpa adanya pengampunan. Pengampunan sangat penting untuk kesehatan emosional dan keselamatan spiritual kita.
“ Terimakasih kak, engkau meneguhkanku.”
“ Kita saling meneguhkan.” Aku rebah di dada Lalungadha. Bersamanya  aku damai  di tengah  sebilah tombak yang menikam rahimku. Terimakasih Tuhan untuk kehangatan perkawinan ini. Perkawinan  yang mengahntar kami untuk menerima seluruh perkara hidup seberat apapun  dengan iman sebesar biji sesawi yang kami miliki.***

Denpasar, 4 April 2016
*) Cerpen ini karya fiksi. Nama-nama dalam cerpen ini adalah fiksi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Romo Agustinus Lie,CDD *)

Menjadi Gembala “Berbau” Domba

Paroki Maria Bunda segala Bangsa Nusa Dua