Buah Rahimku
Aku menikah dengan laki-laki Flores. Pernikahan yang
memerlukan perjuangan berat. Kedua orangtuaku dan keluarga besar tak
menghendaki pernikahanku dengan Lalungadha. Bukan karena Lalungadha tidak
tampan atau pengangguran tetapi ada alasan lain yang lebih fundamental. Kami
berbeda dari aspek kehidupan yang sangat prinsipil. Kami beda agama.
Aku lahir dari keluarga
bukan katolik sedangkan Lalungadha
seorang katolik yang taat. Meskipun selama aku mengenalnya di sebuah
kampus di Kota Denpasar ia jarang ke gereja. Ia salah satu dosen Fakultas
Hukum. Aku mengaguminya karena ia
cerdas. Ia sedikit pendiam namun sangat
humoris. Ia pandai membuatku tertawa. Dan lebih dari itu ia mau menerimaku apa adanya. Menerima masa laluku dan mencintaiku tanpa menjadikan masa laluku
yang kelam sebagai pembanding. Pada hal
aku sudah berterus terang siapa aku
sesungguhnya. Sejak saat pertama ia
mengungkapkan kata cinta aku sudah mengatakan padanya siapa aku sesungguhnya.
Waktu itu malam minggu kami menikmati angin malam di
Pantai Sanur. Menikmati panorama
Sanur yang mempesona itu. Menikmati kelap kelip lampu
dari Hotel Sanur Beach. Dan menikmati debur ombak yang menjilati batu tanggul
penahan air laut agar Sanur tak
mengalami abrasi. Kami duduk tanpa jarak. Lalu kurasakan tangannya menggenggam
jemariku.
“ Aku mau mengatakan sesuatu padamu Ayu.”
“ Mau bilang apa kak?”
“ Cinta.”
“ Maksud kakak?”
“ Aku mencintaimu.”
Untuk beberapa saat
aku terhenyak. Aku larut dalam rasa sukma yang haru biru. Antara sukacita dan ketakutan. Takut kalau Lalungadha tahu siapa aku sesungguhnya.
Tiba-tiba kenangan kelabu terlintas kembali. Ketika itu di pantai Kuta pada
suatu senja di bawah matahari bening. Lelaki
bernama Gutres mengumbar
kata cinta. Aku tak menghitungnya. Mungkin seratus kali ia mengumbar
kata cinta. Membuat aku terlena. Dan hari-hari berlanjut. Semuanya terjadi di
luar kesadaran. Aku hamil. Aku terpaksa
cuti dari kuliah yang baru masuk awal semester tiga.
“ Ayu, ini cinta yang tulus.Lahir dari hati mengalir dari nurani.” Suara
Lalungadha terdengar sangat serius.
“ Tapi kak, aku bukan seperti yang engkau kira.”
“ Maksudmu
karena kau punya seorang anak
laki-laki usia dua tahun yang ditinggal
pergi ayah biologisnya?”
Aku terkesiap. Kurasakan kepalaku seperti diterpa puluhan
kilogram martil. Tak kusangka Lalungadha tahu siapa aku sesungguhnya.
“ Kakak sudah tahu
siapa aku. Jadi layakkah aku menjadi pendampingmu? Pantaskah aku menjadi
belahan jiwamu ketika aku bukan
perempuan murni.”
“ Siapa bilang kau tidak murni?”
“ Aku kak, aku yang merasa diri sendiri. Aku pernah
terhina. Pernah jatuh dalam kubang dosa…”
“ Ketika engkau
mengandung karena perbuatan
laki-laki yang masih manusia, itu engkau
katakan dirimu terhina?”
“ Aku merasa begitu”
Lalungadha
memelukku. Membelai rambutku. Aku merasa berada pada tangan seorang pria
yang melindungiku. Ada rasa damai. Ada rasa percaya. Ada seribu harapan menggelayut dalam dadaku.
“ Aku sudah tahu siapa dirimu.Engkau cuti kuliah karena
melahirkan seorang anak laki-laki. Engkau sendiri yang menghendaki bayi itu
lahir. Engkau melawan godaan untuk melakukan aborsi. Engkau rela pergi dari
rumah untuk menyembunyikan rasa malu orang tua. Melahirkan di kota Jember jauh
dari keluarga. Demi anakmu, itu yang mengagumkan.”
“ Kak, kenapa kakak tahu semua jalan hidupku?”
“ Laki-laki itu terpaksa kembali ke Timor Leste karena politik
mengharuskan. Ketika nasionalisme
terhadap Indonesia sangat kuat dan
engkau tak mau pergi ke negeri orang.”
“ Itu alasannya mengapa Gutres meninggalkanku.”
“ Jadi kau perempuan
kuat. Aku mengagumi perempuan kuat. Seperti dirimu.”
“ Tapi aku punya anak dan ia bukan anakmu.”
“ Delon menjadi
anak kita.”
Hubunganku dengan Lalungadha menghadapi tantangan. Orangtuaku tidak merestuinya. Selain alasan beda agama juga karena pengalaman yang menyakitkan ketika aku ditinggal Gutres. Mereka tidak ingin aku hanya menjadi barang mainan.
Setelah hamil kemudian ditinggal pergi.
“ Pokoknya kawin
dengan orang dari daerah Timur kami
tidak setuju.” Ini ungkapan ayahku.
“ Lalungadha itu beda dengan Gutres. Dia terpelajar. Dia
dosen. Dia tidak mungkin melakukan hal-hal seperti yang preman
lakukan.”
“ Tetap pada
keputusan, kau tidak boleh menikah dengan Lalungadha itu.”
Ini hanya salah satu alasan yang dikemukakan keluargaku.
Masih ada alasn-alasan lainnya yang
menurutku masuk akal. Tetapi di lubuk hatiku ada kepercayaan kepada Lalungadha. Dan ketika aku menyampaikan keberatan keluargaku
Lalungadha dengan gagah perkasa
mendatangi keluarga. Ia benar-benar
datang sebagai seorang lelaki yang tulus. Ia mampu meluluhkan hati kedua orangtua dan keluargaku. Kamipun
menikah. Kini usia pernikahan kami duabelas tahun. Delon telah beranjak
remaja limebelas tahun. Dan adiknya
Floresta usia sepuluh tahun. Kami
bahagia dalam balutan kesederhanaan.
Sampai suatu
hari di bulan April. Ketika suamiku tugas ke luar daerah. Sudah satu
minggu ini suamiku bertugas ke Flores karena ia juga dosen di salah satu perguruan
tiggi di Flores. Sedang aku memilih
tidak bekerja agar bisa merawat
anak-anak. Aku membuka sebuah warung
makan di tengah kota Denpasar. Suatu malam sekitar pukul 19.30 Delon datang
mengendarai sepeda motor. Wajahnya pucat dan ia ketakutan. Kulihat baju
yang dipakainya berlumuran darah. Ia memelukku.
“ Mama, maafkan aku…” Delon sujud di kakiku dan mencium
jari kakiku.
“ Apa yang kau lakukan nak?”
“ Aku…aku….” Delon tak melanjutkan kata-kata. Ia
memelukku. Ia meraung histeris.
“ Apa yang telah terjadi?” Tanyaku. Delon hanya
gemetaran.
Di saat yang sama raung sirene polisi mendekat ke halaman
rumah. Kulihat puluhan polisi turun dari mobil patroli. Mereka masuk ke teras
rumah. Aku menghadapi para polisi itu.
“ Ada apa ini pak?”
“ Benar ibu ini
orang tua Delon?”
“ Betul pak.”
“ Maaf ibu, anak ibu terlibat perkelahian hingga membawa
korban kematian.”
“ Ya Tuhan.” Aku berteriak. Aku menangis histeris.
Aku tidak yakin Delon yang santun dapat
melakukan perbuatan menghilangkan nyawa
sesama. Melakukan pembunuhan.
Polisi meminta untuk membawa Delon ke kantor polisi. Aku
minta waktu pada polisi untuk menelpon
ayahnya.
“ Beri aku waktu pak untuk menelpon ayahnya di Flores.”
“ Oh silahkan ibu.” Aku menelpon Lalungadha.
“ Hallo pak, ini mama.”
Suaraku serak sambil menahan tangis.
“ Yah ma, ada apa?”
“ Delon pak.”
“ Delon kenapa?”
“ Delon berkelahi
dan membunuh temannya.”
“ Yah, esok aku pulang. Biarkan Delon dibawa polisi.”
Delon pun dibawa polisi ke Kantor Polisi. Aku merasa duniaku sudah kiamat. Hancur hati seorang ibu lebih-lebih ketika aku menghadapi
masalah ini di saat suamiku tak berada
di tempat. Semalam suntuk aku tak bisa memejamkan mata. Aku menangis. Aku
meratap. Aku bertanya pada Tuhan, salah apa
kami sehingga harus mendapat cobaan seberat ini? Esok pagi
Lalungadha sampai di rumah. Aku memeluknya, menumpahkan kesedihan.
“ Maafkan aku kak. Aku telah melahirkan anak yang
membuatmu turut menanggung beban berat. Menanggung rasa malu dan mungkin akan dijuluki orangtua dari seorang pembunuh.”
“ Ini beban kita berdua. Kita harus memikulnya bersama. Ini salib yang
harus kita panggul bersama.”
“ Dia buah rahimku. Aku yang lebih berat menanggung beban.”
“ Delon itu anak kita. Ayo, bangkit dan mari kita pikul
bersama. Inilah duka kita, inilah kemalangan kita.” Lalungadha memelukku erat.
Dan ia membisikkan pesan bapa suci Fransikus di
telingaku. Kita tidak sempurna dan tidak menikah dengan orang yang sempurna.
Maka kita juga punya anak yang tidak sempurna. Kita mengeluh satu kepada yang
lain. Kita kecewa satu terhadap yang lain. Karena itu tidak ada pernikahan yang
sehat dan tidak ada keluarga yang sehat tanpa adanya pengampunan. Pengampunan
sangat penting untuk kesehatan emosional dan keselamatan spiritual kita.
“ Terimakasih kak, engkau meneguhkanku.”
“ Kita saling meneguhkan.” Aku rebah di dada Lalungadha.
Bersamanya aku damai di tengah
sebilah tombak yang menikam rahimku. Terimakasih Tuhan untuk kehangatan
perkawinan ini. Perkawinan yang
mengahntar kami untuk menerima seluruh perkara hidup seberat apapun dengan iman sebesar biji sesawi yang kami
miliki.***
Denpasar, 4 April 2016
*) Cerpen ini karya fiksi. Nama-nama dalam cerpen ini
adalah fiksi.
Komentar
Posting Komentar